Kaffah-kan Kay
Oleh Khoirul
Latifah
Nominasi Lomba Penulisan Kreatif DEMA-I IAIN Surakarta 2018
Suara kereta kluthuk
Jaladara melintas jalan Slamet Riyadi. Meski gerimis, beberapa pejalan kaki
masih setia untuk melangkah. Beberapa payung sudah mengembang semakin menghiasi
siang menuju sore kali ini. Meski agak gerimis, matahari masih semburat
menyengat. Pantulan matahari semakin membuat pesona Jaladara memikat hati yang
melihatnya. Beberapa anak yang melihat Jaladara membelah Slamet Riyadi menggamit erat bapak ibu mereka. Tersenyum
lebar, membahagiakan. Hanya saja itu seperti sebuah fatamorgana kebahagiaan
bagi dua orang yang sedang dilanda kegalauan di ujung jalan menuju St. Antonius
Purbayan.
Namanya Kayla. Kayla suka sekali jalan-jalan. Hidup Kayla seakan
tak pernah lelah. Efek dari hobby yang Kayla miliki, ia sering mendapat job
sebagai freelancer untuk mengisi jurnal travelling. Kayla memang
awalnya hanya coba-coba mengirim coba-coba untuk hasil perjalannya, namun
ketika diterima naskahnya Kay menjadi ketagihan. Terlebih kesukaan Kay untuk
jalan-jalan ditunjang dengan kemampuan fotografinya yang lumayan. Sehingga untuk
perjalanan-perjalanan selanjutnya, Kay tak terlalu pusing dana yang akan ia
pakai.
Bergaya slengean,
banyak yang memanggil cowok kelahiran Jakarta ini Jo. Nama lengkapnya Joshua
Mikayla. Jo lahir dan besar di Jakarta. Seperti cowok-cowok Jakarta lainnya, Jo
memiliki kepribadian yang cukup jauh dari rasa ewuh-pekewuh. Jo seorang
wartawan untuk sebuah platform berita online di Indonesia. Jo spesialisnya indepth
reportase. Pernah Jo memimpin sebuah projek untuk menguak tentang misteri
raibnya bangkai kapal perang Belanda di Laut Jawa. Jo selain itu juga pandai
dalam hal statistik. Jo pernah menjadi hidden army sebuah LSM yang
mengulik tentang Pemilu 2014. Jo sangat menikmati jalan hidupnya.
Pemandangan Solo kala sore semakin mempertegas, bahwa Solo memiliki
daya pikat tersendiri. Meski belum
seramai Jogja, Solo tetap menjadi kota transit yang dikangeni. Tak terkecuali
untuk Kayla. Kay setiba dari Padang, langsung memilih check in di Sala View.
Sebuah hotel kecil, namun strategis di Solo. Meski masih dalam status bekerja,
Kay memilih bekerja yang sekali lompat dua tiga pulau terlampaui. Projek di
Padang masih ada kaitannya dengan projek yang ada di Solo. Kay mendapat projek
untuk meliput kota-kota yang bernafaskan Islam. Padang adalah destinasinya yang
kedua setelah Aceh. Lalu Kay memilih Solo sebelum kemudian ia akan ke Jogja. Di
Solo, Kay akan meliput sejarah keislaman di daerah Laweyan dan Kauman.
Setelah Kay mengurusi administrasi hotel dan sedikit menghempaskan
diri di kasur yang empuk, Kay mencoba untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan
untuk wawancara nanti. Kay sudah membidik penjaga museum Samanhudi dan penjaga
langgar Merdeka di Laweyan. Kay ingin ulasan tentang sejarah keislaman di Solo
ini memiliki nafas ekonomi. Kemudian untuk pertanyaan-pertanyaan di Kauman, Kay
akan mewawancarai orang-orang pengrajin batik disana dan beberapa petugas Pasar
Klewer Solo. Satu jam telah usai, Kay mempersiapkan peralatan hunting-nya.
Waktu sudah agak siang, namun cuaca sedikit mendung. Meminjam sepeda yang
disediakan cuma-cuma pihak hotel, Kay memilih menuju Laweyan terlebih dahulu.
Disaat yang sama, pesawat Citilink sudah landing dari arah
timur. Meski pagi ini tidak terlalu mendung, namun kedatangan Citilink tadi
harusnya sudah 15 menit lalu. Baru pukul 09.15, pesawat berhasil mendarat.
Keterlambatan 15 menit bagi beberapa orang penumpangnya akan memberi efek. Bagi
mereka yang bekerja untuk uang, benar-benar time is money. Tapi tidak
untuk Jo. Jo stay cool dengan tas ranselnya dan kaca mata hitam
favoritnya. Ia melenggang santai mempersilahkan para eksekutif muda yang grusa-grusu
akibat keterlambatan tadi. Jo tidak menuju pengambilan koper, ia hanya membawa
ransel 30 L. Ransel biru hitam Jo cukup simple, hanya beberapa lembar baju,
satu buku catatan dan sebuah novel Ghost Fleet, novel yang sedang booming itu.
Kamera sebagai jimatnya ia masukkan dengan seperangkatnya di tas sendiri, ia
cangklongkan di pundak.
Jo menilik
arlojinya, pukul 9.30. sebenarnya sudah agak siang namun masih sedikit mendung.
Ia segera membuka gawainya, dan mengecek alamat hotel tempat ia transit. Aston
hotel, sebuah hotel di tengah kota Solo, kira kira 30 menit dari Bandara Adi
Soemarmo Solo. Segera Jo memanggil taksi, dan meninggalkan kerusuhan lain di
bandara tadi. Jo membelah kota Solo dengan mendengarkan lagu Raisa-teduhnya
wanita dari radio taksi.
Menuju Laweyan dari Sala View,hotelnya, Kay tak memerlukan waktu
lama. Dengan sepeda yang ia kayuh, kemudia dia mudah menemukan Museum
Samanhudi. Setelah mengisi buku tamu, Kay memperkenalkan diri dengan menunjukkan
ID card-nya ke penjaga museum. Kay dengan senyumnya yang ayu, serta
kelengkapan instrumen wawancaranya tak sulit untuk mendapatkan data yang ia
dapat. Penjaga museum memberikan detail apa yang Kay butuhkan. Selain dari
penuturan penjaga, Kay tidak lupa mengabadikan beberapa foto dan barang di
Museum Samanhudi. Museum Samanhudi, sebagai tapak tilas berdirinya Serikat
Dagang Islam kala itu, meski tak luas namun masih memberikan romansa perjuangan
melawan penjajah dan penyebaran Islam melalui bidang ekonomi. Kay kemudian
undur diri, setelah dijamu teh hangat dari penjaga museum. Tak lupa penjaga
museum meminta foto bareng Kay. Kay menyambut dengan antusias dan mengucap akan
datang lain suatu saat nanti.
Kayla melanjutkan untuk menapaki pesona langgar Merdeka. Langgar
Merdeka terletak di pojok jalan masuk Kampung Batik Laweyan. Bangunannya kecil,
berlantai dua, dicat hijau. Menurut Kay mengapa bangunan ini masuk dalam
kualifikasinya, langgar ini mungkin menjadi saksi tempat berlalu lalangnya para
saudagar yang mengadakan transaksi batik jaman itu. Kay langsung menemui
pengurusnya dan melakukan wawancara. Sebelumnya Kay tak lupa memperkenalkan
dirinya.
Saat Kay mewawancarai pengurus Langgar Merdeka, di sudut kota Solo
lain ada cerita lain. Jo yang tadi sudah sampai Solo, masih santai-santai
menikmati pemandangan dari dalam kamar hotelnya. Sudah membersihkan badan dan
makan, Jo masih menunggu panggilan dari seseorang yang akan ditemuinya. Sambil
menunggu, Jo membukan jendela kamar dan menengok Solo. Solo bagi Jo adalah
selaksa rindu. Jo meski lahir dan besar di Jakarta, Solo memberikan nuansa
kehangatan lain. Solo ia kenal saat almarhum mamanya dikebumikan. Ya, mama Jo
asli Solo. Seorang pemilik salah satu warung bakmi di kawasan Pasar Gede. Jo
nanti akan mampir ke warung bakmi mamanya, sekaligus menziarahi makam mama,
tapi nanti jika sudah kelar urusannya.
Tiba-tiba gawai Jo berdering. Jo mengecek nama penelfonnya. Sembari
tersenyum, Jo langsung mengerahkan fokusnya kepada suara di tengah kota Turki
itu. Jo ada sebuah projek dengan Pemerintaan Turki melalui tempat ia bekerja
untuk mengadakan investigasi tentang jejak Kesultanan Turki di bekas Kerjaan
Islam Mataram. Maka nanti setelah Solo, Jo akan bertolak ke Jogja juga untuk
menggenapi kepingan projek tersebut. Awalnya Jo menolak projek ini, karena
pertama ia bukan non muslim. Jo penganut Katolik. Jo bukan tidak mau, namun ia
belum memahami seluk beluk sejarah keislaman di Indonesia khususnya Mataram
Islam dan hubungannya dengan Turki. Namun karena bujukan Pimpinan Utamanya, Jo
mengiyakan setelah tahu Solo salah satu tujuan investigasinya.
Setelah
memastikan apa yang diinstruksikan, Jo bergegas mengemasi alat-alat kerjanya
untuk segera meluncur ke arah Keraton Solo. Langit masih mendung namun tidak
hujan. Jo turun ke lobby lalu memesan ojek online yang menjamur di Solo. Jo
menimati perjalananannya melewati gang-gang kecil, nostalgia. Sementara itu,
Kay masih dengan misi yang sama bertolak meninggalkan Laweyan lalu menuju
Kauman. Kauman dan Keraton Solo hanya berjarak sepelemparan. Hingga ketika
sama-sama sampai ke tujuan, Tuhan yang lebih tahu jalan cerita apa yang Jo dan
Kayla temui. Tidak tanpa tiba-tiba, Jo dan Kayla bertabrakan di ujung jalan di
Supit Urang, Baluwarti.
Ah dunia itu sempit. Bagi sebuah perasaan yang sudah menguncup
mengembang. Bagaimana lakon ceritanya, seakan akan ada sebuah konspirasi alam
semesta untuk tetap menghantarkan dua insan yang pernah saling, meski
akhir-akhir ini menjadi asing. Kay mendelik ketika Jo memungut topinya yang
terjatuh. Jo juga melotot tak percaya, menemukan seseorang yang sudah lama
berjarak dengannya. Kay hanya mendesah. Keduanya hanya mematung, hingga suara
klakson mobil menyadarkan mereka. Jo dan Kay lalu menepi, mencari atap agar
tidak terlalu gerah.
“Hy Kay” sapa Jo pertama.
“Hy Jo, ehhm. Aa apa kabar?” jawab Kayla terbata.
Keduanya kemudian terpaku dalam diam. Dalam diam mereka terseret
dalam kelindan masa lalu, tidak terlalu lampau sebenarnya, lima bulan lalu. Saat
keduanya masih di Bandung. Kay dan Jo bergabung dalam sebuah komunitas anak
jalanan. Mereka membantu sebagai relawan tidak tetap, untuk mengajar beberapa
anak jalanan. Karena banyak kesamaan, kenyamanan muncul dari hari demi hari.
Tipe Kay yang sanguinis ekstrovert bersambut dengan Jo yang sebenarnya koleris.
Komunikasi Jo dan Kay terkadang lucu. Saat bermain dengan anak-anak jalanan,
mereka sudah sangat rukun. Banyak anak-anak yang betah jika mereka berdua
datang. Namun sesekali mereka bertengkar hal yang remeh. Hari demi hari
berlalu, kenyamanan mengalir menjadi sebuah kristal perasaan. Jo dan Kay banyak
kesamaan, hingga keduanya lalu mengerti ada sebuah perbedaan yang mencolok oleh
keduanya. Jo seorang katolik, Kay seorang muslimah. Yaa meski Kay belum seperti
ukhti-ukhti yang sudah mampu istiqomah hadir kajian dan berhijab lebar, Kay
untuk beberapa hal ia masih memegang prinsip agamanya. Kay lebih sering memakai
rok dan atasan berhijab sedang. Kay tidak sering keluar malam dan menghindari
jabat tangan. Jo meski katolik, sudah tahu ketidakluwesan itu, dan kemudian
kagum. Untuk sosok Kayla yang namanya hampir sama dengannya.
Jo sudah pernah
mengutarakan perasaan ingin membuat hubungan serius saat kereta Kay menuju
Semarang di Stasiun Kiara Condong lima bulan lalu. Kay hanya tersenyum getir.
Kay sangat menyambut, tapi kemudian bibirnya kelu. “Jo, ucapan perasaanmu indah
di telingaku, namun syahadatmu mungkin hadiah terindah dalam hidupku jika kau
mau”, jawab Kayla tersedu. Jo sangat ingat sorot mata Kayla yang harap-harap
cemas. Untuk beberapa alasan hati Jo bergetar. Tak semua perempuan, Jo mudah
menaruh harapan. Sejak kereta Kayla melaju hingga detik ini pulalah, Jo dan Kay
bertemu lagi.
Hari yang sedari pagi mendung tadi, tiba-tiba gerimis. Gerimis
semakin merintik, jika tak segera berteduh tetap akan kuyup. Suasana Kay dan Jo
yang masih terdiam semakin dingin. Jo
ingin memulai sebagai laki-laki yang gentle. Kay menyimak dalam muka
tertunduk. Rasa asing kemudian luruh pelan-pelan. Suasana hujan semakin membuat
kesyahduan. Jo ingin menuntaskan perasaannya. Jika bukan campur tangan Tuhan,
entah Tuhan Kay atau dirinya sendiri tak mungkin mereka akan bertemu lagi di
Solo. Kay mulai membuka diri, dan memberikan suara setelah sedari tadi
menyimak.
Hujan sudah tak lagi deras. Mereka kemudian memutuskan berkeliling
keraton. Hingga adzan asar, Kay ingin undur diri untuk sholat di Masjid Agung.
Jo memutuskan menemani Kay. Jo mengantar Kay sholat sambil memotret. Kesempatan
untuk liputannya ia sampingkan, sebentar toh masih ada waktu sepekan. Selesai
sholat, Kay mengajak Jo berjalan lagi. Ia ingin melihat Benten Vastenberg. Jo
mengiyakan. Lalu mereka berjalan, masih dengan obrolan ringan.
Membelah riuhnya Pasar Klewer yang belum semua pedagang pindah ke
los permanen, Jo dan Kay semakin lama tiba dalam permasalahan sensitif mereka
selama ini. Suara kereta Jaladara terdengar dari arah timur. Kay tidak ingin
melewati momen itu, ia sedikit berlari. Jo menjajari. Jo sudah mulai menangkap
raut muka Kay yang demi kereta namun Kay sebenarnya belum ingin membahas
masalah itu.
Kay tetap fokus pada kameranya. Kereta lewat, diiringi tepuk tangan
anak-anak sekitarnya. Jo ikut mengeluarkan kameranya. Setelah terlewat, suka
cita anak-anak yang bermain kecipak genangan air tak membuat Kay dan Jo ikut
bersuka cita. Hari sudah akan sore. Perasaan itu bagai pendulum, cepat sekali
momentumnya. Jo dan Kay yang tadi asing lalu bertemu dengan nyaman lagi, mendadak
asing lagi. Mereka jika ingin menuju Vastenberg, mereka harus melewati St.
Antonious Purbayan. Sebuah gereja katolik yang dulu Jo sering berdoa di situ
kala hari minggu.
Menuju St. Antonious, Kay semakin berdebar. Hingga kemudian di
ujung jalannya setelah menyeberang Jo menghentikan langkah. Kay bingung. Jo
apakah marah ?
“Kay, kita sudah lama tau. Bahwa kita memiliki rasa yang sama. Aku
suka kamu Kay sejak kau menjelaskan prinsipmu tidak sembarang laki-laki mampu
menjabat tanganmu. Kay, definisi perasaan ini aku tak mengerti. Aku ingin
memilikimu, menemani hingga tuaku. Mengeja cerita kita dalam lembar-lembar foto
keluarga atau memenuhi ruang baca buku kita dengan perjalanan kita berdua. Kay,
kau pun tahu bahwa selama ini juga tak banyak perempuan yang singgah di hatiku.
Kay, urusan ini sebenarnya memang rumit. Kita ada dalam perbedaan yang hakiki.
Tak seperti yang lain, kamu menerima kehadiranku. Meski aku dan kamu berbeda. “
“Kay, telah lama ku menimbang. Apakah aku akan menghadiahkan
kalimat yang kau sebut terindah itu atau tidak, aku tak tau atau mungkin belum.
Di depan gereja ini dulu aku dan mama sering berdoa. Kita mendoakan papa.
Hingga kemudian mama pergi juga. Perempuan yang kemudian menyejukkanku mungkin
ada beberapa namun tak ada yang sering menghalusinasi hidupku. Kay, sebenarnya
berat. Namun kamu perempuan Islam yang baik Kay. Bukankah dalam kitabmu
perempuan yang baik untuk laki laki baik? Aku tak ingin menjadi laki-laki
egois.”
Kay semakin bingung dengan Jo.
Lanjut Jo “Kay, maka untuk itu disini. Di depan gereja tempat dulu
aku berdoa dengan mama, aku tetap berdoa Kay. Semoga besok aku dan kamu menjadi
kita Kay. Mungkin memang akan ku hadiahkan kalimat syahadat itu. Namun bukan
sekarang, Kay.”
Wajah Kay memerah. Kaget campur haru. Kay merinding dan mengucap
asma Tuhannya.
“Untuk sekarang, Kaffah-kan Islammu Kay. Kelak mungkin aku menjadi
imammu dalam bimbinganmu. Aku akan juga belajar. Biarkan perbedaan ini masih
seperti azalinya. Hingga kemudian jika Tuhan sudah berkehendak, aku akan mengubah
perbedaan itu. Tapi bukan sekarang.” Tegas Jo.
Beberapa lampu jalan sudah menyala. Hari sudah akan gelap. Para
penjaja makanan di Galabo mulai menutup gerobaknya, diganti penjaja makanan
lain. Kay terpekur, hatinya seakan disiram es kelapa muda, menyegarkan.
“Kay, lihatlah aku. Lihatlah kesungguhanku Kay. Laki-laki dilihat
dari janjinya. Ijinkan aku berjanji hal berat ini padamu. Biarkan kemarin,
sekarang hingga nanti kita menjadi sama adalah kenikmatan kita menghargai
perbedaan. Aku kagum padamu Kay, meski kita berbeda tak kau jauhi aku dengan
hina. Maka untuk itu, cukup sampai disini dulu Kay ku menemanimu.”
“Kamu mau kemana?” tanya Kay gelagapan.
“Aku tak pergi jauh Kay. Aku ingin memperbaiki diriku. Aku akan
memantaskan diri untuk menjadi sama dengan mu. Kaffah kan Kay ?”
Kay tersenyum dalam. Ia tahu ada kesungguhan dalam pancaran mata
Jo. Kay mengiyakan Jo pergi. Kemudian dengan sedikit kata berpisah, Jo
meninggalkan Kay sendiri. Kay lalu melangkah gontai menyetop taksi yang ia
pesan. Kay kembali ke hotel dengan perasaan haru dan terus menggumamkan
sholawat. Sore yang berbeda. Solo memberikan cerita.
Kay akan selalu ingat. “Kaffah-kan Kay”

Komentar
Posting Komentar