Maksimalisasi Trilogi Lingkungan Pendidikan
Nominasi Essay Competition FORDISTA IAIN Surakarta 2017
Pendidikan menjadi salah satu pembahasan
manusia di kehidupan sehari-hari. Di Indonesia digagas beberapa program kerja
untuk memenuhi salah satu cita-cita bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 :
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan menurut UU No.20 Tahun 2003
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia,
sehat, berilmu , cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat fenomena sekarang, anak muda yang menjadi refleksi hasil pendidikan
ring 1 banyak yang melukai jati diri pendidikan dengan sendirinya. Dalam
tribunnews.com edisi Senin, 24 Maret 2014 disebutkan bahwa anak SD saja sudah
mengerti fenomena aborsi, hamil diluar nikah (MBA-married by accident).
Selain itu dalam unggahan detikNews (news.detik.com/berita edisi 23 Maret 2015)
disebutkan pada tahun 2000-2004 ditemukan kasus 660 free sex di IPDN Bandung,
padahal IPDN merupakan satuan pendidikan yang mengajarkan kedisiplinan.
Kemudian aksi tawuran yang juga menjadi problematika hasil pendidikan meningkat
di tahun 2016, bahkan terjadi di Jogjakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar
(detikNews edisi 29 Desember 2016). Fenomena-fenomena kenakalan remaja tersebut
menjadi sebuah tanda tanya pada pendidikan Indonesia yang dalam tujuan nasionalnya
menjadikan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu , cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kenakalan remaja
merupakan oposisi dari akhlak mulia dan beriman bertakwa.
Dalam optimalisasi pendidikan sebagai perwujudan Sustainable Development
Goals, butuh banyak instrumen pendukung. Dalam hasil pertemuan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk SGDs dengan Kantor Staf Presiden I, Oktober 2015 lalu
menghasilkan 2 manfaat pentingnya pendidikan untuk optimalisasi SGDs. SGDs
mengajak para stakeholder seperti kelompok bisnis, partai politik, dan
DPR untung mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Namun sebelum
mencapai stake holder ada sebuah instrumen yang sering diabaikan padahal
instrumen tersebut berasal dari bawah, yaitu Trilogi Pendidikan.
Dikenal Trilogi Pendidikan adalah karena merupakan tiga lingkungan untuk
manusia belajar. Yang pertama adalah keluarga. Dalam hadis Rosululloh, SAW
banyak disabdakan mengenai pendidikan dan muncul menjadi kalimat nasihat
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”- minal mahdi ila lahdi. Buaian,
munurut KBBI versi V berarti ayunan (untuk menidurkan anak kecil). Buaian didapatkan
dari kedua orang tua atau keluarga. Dalam Islam, juga disebutkan bahwa sekolah
pertama adalah dari ibu. Mengapa keluarga dijadikan sebagai lingkungan
pendidikan pertama ? karena keluarga adalah orang-orang yang pertama kali
dihadapi anak. Keluargalah yang akan mengajarkan nilai-nilai pendidikan dasar
dan adab pada seorang anak. Sekarang ini banyak orang tua yang sudah merasa
mensekolahkan anak, namun melupakan bahwa pendidikan anak di keluarga adalah
pendidikan sepanjang hayat.
Poin kedua adalah peran sekolah. Sekolah
adalah tempat yang mana memberikan pandangan kepada peserta didik dalam
mensikapi masalah-masalah yang terjadi dan memberikan kemampuan siswa untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Sekolah tak sekedar esensi tempat belajar yang
wajib didatangi pagi hingga menjelang sore untuk mendapat pelajaran matematika,
IPA, atau bahasa namun harus mampu menjadi laboratorium pengembangan soft
skill dan hard skill peserta didik.
Poin ketiga adalah lingkungan masyarakat.
Lingkungan masyarakat memiliki peran untuk mendukung pendidikan yang sudah
berlangsung di rumah dan di sekolah. Masyarakat berfungsi sebagai panggung
pengaplikasian pendidikan yang didapat serta sebagai guru non-akademik peserta
didik dimana mereka mengamati masalah-masalah yang ada di masyarakat kemudian
dipelajari di sekolah.
Namun studi kasus sekarang ini di awal yang
sudah dijelaskan misal kenakalan remaja, adalah salah satu penyebabnya adalah
ketidakberlakunya lagi dinamisasi trilogi lingkungan pendidikan tersebut. Mari
diuraikan kembali, dimulai dari lingkungan rumah. Rumah memiliki andil besar,
namun sekarang andil besar itu mudah dilemparkan di PAUD/Play Group dan
kemudian tidak ada lagi pendidikan moral dan pendidikan adab di rumah hanya
sebatas formalitas. Di usia lanjut, anak sudah terlalu sibuk belajar di sekolah
formal pagi hingga sore, malamnya sudah asik dengan gawainya tak ada lagi
agenda ngobrol bersama orang tua. Orang tua hanya cukup tau uang saku mereka
cukup atau kurang, tanpa mau tau sehari sudah belajar apa saja di sekolah,
bermain dengan siapa dan makan siang dimana. Maksimalisasi pendidikan rumah dan
keluarga kurang dari harapan. Anak-anak menjadi bias dalam menentukan “sebenarnya
yang kulakukan ini benar apa salah?” karena tidak ada obrolan pendidikan di
keluarga. Kemudian mereka mencari pembenaran di luar rumah, seperti meniru di
TV atau di internet yang tidak semuanya memiliki konten baik.
Kedua adalah kurangnya peran sekolah untuk
mensiapkan peserta didik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sekolah semakin lama dirasa hanya sebagai tempat untuk dihampiri dan
mencukupnya mentransfer ilmu dari guru ke peserta didik. Sekolah hanya memenuhi
aspek kognitif, yang penting guru mengajar tidak mendidik. Mengajar berbeda
dengan mendidik. Mengajar yang penting kewajiban transfer ilmu tergugurkan dan
peserta didik sebagai objek pendidikan. Mendidik adalah menempatkan peserta
didik sebagai subjek pendidikan. Sehingga jika sekolah hanya sebagai penggugur
kewajiban maka pesan afektif dan psikomotorik terabaikan. Peserta didik mau
bertingkah apapun bahkan tindakan amoral di sekolah apa luar sekolah, guru
tidak turun tangan mengendalikan untuk tetap bertingkah baik dan sesuai moral
masyarakat. Jadi bukan mengherankan jika banyak ditemukan kasus pem-bully-an
atau tawuran pelajar di lingkungan sekolah.
Ketiga lingkungan masyarakat, yang mana
disitulah peserta didik akan mengaplikasikan apa yang didapat yang dari rumah
dan sekolah. Masyarakat saat ini tidak hanya masyarakat di kehidupan nyata
namun juga masyarakat media sosial. Salah satu peran masyarakat, ada program
dari pemerintah jam wajib belajar pukul 19.00-21.00 disitulah peran masyarakat
yang mampu atau tidaknya mensukseskan program pemerintah tersebut. Namun karena
masyarakat sekarang dominan tidak peka jika menjadi salah satu trilogi
lingkungan pendidikan, sehingga masyarakat merasa baik-baik saja
mengabaikannya, salah satunya program wajib belajar. Efeknya melihat anak-anak
bermain di jam tersebut bukan hal salah. Kemudian pendidikan adab dan moral
yang menjadi fokus utama di masyarakat. Nilai moral adalah nilai yang dibangun
dan disepakati bersama tentang baik buruknya, namun jika masyarakat sudah banyak
terjangkit penyakit sosial amoral maka tak dipungkiri peserta didik akan juga
merasa baik-baik saja melakukan tindakan amoral tersebut. Tak jarang akibat
apatisnya masyarakat, fenomena “cabe-cabean” merebak dan belum ada solusi yang
solutif.
Maksimalisasi peran trilogi inilah yang
sekarang mesti digalakkan kembali. Tema Hari Pendidikan Nasional 2017, 2 Mei mendatang adalah “Percepat pendidikan
yang merata dan berkualitas” dan percepatan itu dimulai dari hal kecil dan
dasar. Perwujudan pendidikan sebagai salah satu poin Sustainable Development
Goals (SGDs) memang perlu dukungan dari para stakeholders, namun
tanpa dimulai dari hal kecil, dasar dan paling dekat dengan subjek pendidikan
dirasa akan biasa hasilnya atau bahkan sia-sia. Menuai hikmah dari hasil
pendidikan Sultan Al-Fatih, yang dimulai dari keluarga yang baik, sekolah
(gurunya) yang mendukung dan lingkungan ia tinggal yang kondusif maka jangan
heran hasilnya sangat gemilang di sejarah peradaban Islam, runtuhnya kerajaan
Konstatinopel.


Komentar
Posting Komentar