Sejak kesuarmu membumbung
Aku terusik,
Hawar hawar pada mayapada
Mengkerutkan beranda senja
Aku tersiksa,
Pada kerinduan yang menjadi pejal
Tersolid pada ambisi dan kecurigaan
Aku termangu,
Kolase wajahmu terlukis di embun jendela tipis
Seakan dekat tapi kau jauh
Kala ku dekatkan tangan malah terhapus
Aku tercekat,
Suaramu tergantung di sela sela guntur
Ternyata bukan kedatanganmu
Hanya halusinasi telinga yang lama tak mendengar suaramu
.
.
.
Aaaaaaaaaaa
Hati-
Dari sekepal apa sebuah hati itu terbuat?
Ia mengeras, melembut, melunak atau membatu tanpa notifikasi
Hati bagaikan sebuah pohon
Yang menanti siraman
Yang menunggu pupukan
Dalam sebuah sabda, ia terdefinisikan adalah sebuah genggam darah yang apabila ia baik, maka semua akan baik dan apabila buruk maka keburukan akan berkelindan membelakangi
Seperti makhluk, tak ubahnya hati mengekspresikan dirinya dalam bentuk degupan
Ia berdegup, kala senang
Ia melemah, kala sedih
Sedalam dalamnya hati tak ada yang tau
Tertutup oleh pesona mimik muka atau gerak gerik raga
Hati pun sebagai tanda
Dimana iman bersemayam
Gadisku
Mata seorang gadis
Basah sendu
Ceruk bibirnya menyudut
Napasnya menderu deru
Cepat cepat menundukkan dagu
Tak kuasa tangannya menyangga lara
Gadis, ada godam apa hingga kau tak secerah biasanya?
Langit mengikuti ayunan rasa hatimu
Mengkilat bergetar getar
Hingga sesore tak ada yang berani bebas berjalan
Karna takut terhadang hujan
Gadis, tuangkan apa yang kau resah dalam sebuah larik puisi
Buatlah kisah, buanglah resah
Seduh saja duniamu dengan segelas coklat hangat
Tenangkan gejolakmu
Gadis, katakan apakah kau sedang mencandu rindu?
-Kita Khidmat Saja-
Untuk menutup lembaran akhirmu
Seperti biasa : aku tak suka berpesta pesta
Apakah tak ada yang lebih romantis dibanding menerawang gemintang?
Beralaskan rerumputan
Di derajat yang membuat sedikit menggigil
Membuat tangan ini lebih dalam menggamit diri
Jauh, semakin jauh membiarkan kornea menyimpan cerita cerita yang tak sempat dikata
Aku menghantarkan kepergian.
Kembalimu pada singgahsana yang padu
. Kumpulan detik menjadi menit ke jam lalu menjadi hari.
Hari hari berkawan dengan erat menggamit pekan.
Pada satu hari, kita akan melayarkan janji.
Biarkan janji itu terbirit, mengulum senyum.
Menatap elok wajah seorang Puan.
Yang berwajah sendu, berlesung pipi.
Di tepian Kapuas atau di bawah Ampera yang berperlip memesona
Demi masa
Yang tak pernah kita mampu mengubah satuan detiknya
Masih pada gemintang yang terhampar
Seakan Tuhan putarkan kaleidoskop kehidupan
Kesalahan kesalahan
Janji yang teringkari
Kata yang melukai
Atau
Tropi tropi yang terangkat
Narasi yang mampu didialogkan
Mungkin juga sedikit romansa picisan
Terngiang ngiang
Esok
Kita akan tetap berlayar
Entah menemui Puan manismu atau hanya sekedar
Mengucap selamat tinggal dari atas jembatan
Aku terusik,
Hawar hawar pada mayapada
Mengkerutkan beranda senja
Aku tersiksa,
Pada kerinduan yang menjadi pejal
Tersolid pada ambisi dan kecurigaan
Aku termangu,
Kolase wajahmu terlukis di embun jendela tipis
Seakan dekat tapi kau jauh
Kala ku dekatkan tangan malah terhapus
Aku tercekat,
Suaramu tergantung di sela sela guntur
Ternyata bukan kedatanganmu
Hanya halusinasi telinga yang lama tak mendengar suaramu
.
.
.
Aaaaaaaaaaa
Hati-
Dari sekepal apa sebuah hati itu terbuat?
Ia mengeras, melembut, melunak atau membatu tanpa notifikasi
Hati bagaikan sebuah pohon
Yang menanti siraman
Yang menunggu pupukan
Dalam sebuah sabda, ia terdefinisikan adalah sebuah genggam darah yang apabila ia baik, maka semua akan baik dan apabila buruk maka keburukan akan berkelindan membelakangi
Seperti makhluk, tak ubahnya hati mengekspresikan dirinya dalam bentuk degupan
Ia berdegup, kala senang
Ia melemah, kala sedih
Sedalam dalamnya hati tak ada yang tau
Tertutup oleh pesona mimik muka atau gerak gerik raga
Hati pun sebagai tanda
Dimana iman bersemayam
Gadisku
Mata seorang gadis
Basah sendu
Ceruk bibirnya menyudut
Napasnya menderu deru
Cepat cepat menundukkan dagu
Tak kuasa tangannya menyangga lara
Gadis, ada godam apa hingga kau tak secerah biasanya?
Langit mengikuti ayunan rasa hatimu
Mengkilat bergetar getar
Hingga sesore tak ada yang berani bebas berjalan
Karna takut terhadang hujan
Gadis, tuangkan apa yang kau resah dalam sebuah larik puisi
Buatlah kisah, buanglah resah
Seduh saja duniamu dengan segelas coklat hangat
Tenangkan gejolakmu
Gadis, katakan apakah kau sedang mencandu rindu?
-Kita Khidmat Saja-
Untuk menutup lembaran akhirmu
Seperti biasa : aku tak suka berpesta pesta
Apakah tak ada yang lebih romantis dibanding menerawang gemintang?
Beralaskan rerumputan
Di derajat yang membuat sedikit menggigil
Membuat tangan ini lebih dalam menggamit diri
Jauh, semakin jauh membiarkan kornea menyimpan cerita cerita yang tak sempat dikata
Aku menghantarkan kepergian.
Kembalimu pada singgahsana yang padu
. Kumpulan detik menjadi menit ke jam lalu menjadi hari.
Hari hari berkawan dengan erat menggamit pekan.
Pada satu hari, kita akan melayarkan janji.
Biarkan janji itu terbirit, mengulum senyum.
Menatap elok wajah seorang Puan.
Yang berwajah sendu, berlesung pipi.
Di tepian Kapuas atau di bawah Ampera yang berperlip memesona
Demi masa
Yang tak pernah kita mampu mengubah satuan detiknya
Masih pada gemintang yang terhampar
Seakan Tuhan putarkan kaleidoskop kehidupan
Kesalahan kesalahan
Janji yang teringkari
Kata yang melukai
Atau
Tropi tropi yang terangkat
Narasi yang mampu didialogkan
Mungkin juga sedikit romansa picisan
Terngiang ngiang
Esok
Kita akan tetap berlayar
Entah menemui Puan manismu atau hanya sekedar
Mengucap selamat tinggal dari atas jembatan
Komentar
Posting Komentar