Adil Sejak Dalam Hati
Khoirul Latifah
Beberapa bulan lalu sebelum novelnya akan diekranisasikan, novel “Bumi Manusia” akhirnya tertamatkan. Bukan niat apa apa, hanya tidak ingin kehilangan dramatisasi Mbah Pram dalam karyanya tercerabut dalam naskah naskah dan dialog yang terbatas. Tokoh Minke dan Annelisnya dituturkan untuk mengajarkan hikmah. Mbah Pram dengan ke-khasan preferensi ideologinya, novel Bumi Manusia digiring dengan nuansa yang menjurus ke realisme sosial. Terlepas apa latarbelakang Mbah Pram, ada satu hikmah yang menarik yang bukan sekedar romansa Minke dan Annelis, yakni hikmah untuk adil sejak dalam pikiran.
Adil sejak dalam pikiran mengantarkan Minke berhasil menyunting Annelis. Minke meski dari keturunan Jawa, mampu menjadi suami Annelis. Annelis adalah anak hasil hubungan Pria Belanda dengan Nyai Ontosoroh yang berdarah jawa. Adil disini hakikatnya menekankan bukan kepada strata sosial mana mereka berada asal ada usaha dan keyakinan di antara keduanya mereka mampu saling menambatkan jiwa dan raga dalam mahligai pernikahan dimana saat itu jelas melanggar tata aturan sosial dalam pernikahan.
---
Yogyakarta lagi lagi memberi nuansa lagi untuk mengisi hati, diksi, dan ruang-ruang bernalar. Sore kemarin di Ahad pertama Januari, sepeda motorku terparkir di halaman rumah seseorang. Setelah muter-muter mengikuti arahan Mbak Google akhirnya menemukan titik yang dicari dalam kotak pencarian. Meski sudah memakai jasa Mbak Google tetap saja menggunakan kearifan lokal, bertanya ke penduduk sekitar. Karena sudah janjian sebelumnya, tanpa diketuk pintu pemilik rumah sudah membukakan pintu. Uluk salam pun terkabul dari kedua pihak, pemilik rumah dan tamunya. Dipersilahkanlah kami masuk. Rumahnya bermodel hunian modern. Tembok ruang tamunya penuh coretan kreatifitas, bersliweran dua anak kecil laki-laki. Ohh mesti itu para pelukisnya. Dipersilahkan duduk di karpet lesehan, kami pun duduk bersila. Memperhatikan ceruk wajahnya, di hati diam mengukur berapa usianya. Setelah memperkenalkan diri, dan menaruh bingkisan kecil-kecilan kita mulai menukar pikiran. Eh bukan, kita yang lebih banyak mendengar dan mendulang banyak pengetahuan.
Bunyi gelas berdenting menandakan ada seseorang dibalik tembok yang penuh coretan tadi. Sujurus kemudian tuan rumah tadi undur diri sebentar, kemudian membawa lima gelas teh yang berkepul. Tak lupa pula pasangan tehnya, sekotak kue kekinian dan setoples keripik. “Mari dinikmati” ajak sang abdi. Entah karena hawa yang mendukung atau memang haus, teh langsung bersambut dengan tenggorokan yang mengering. Sambil kami menikmati kesederhanaan kudapan, sang abdi meneruskan kemewahan cerita. Seperti wartawan-lah kami datang. Tanya ini itu, seperti narasumber, bapaknya menjawab dengan sabar dan runtut.
Beberapa pertanyaan memang sudah kita siapkan dalam perjalanan menuju TKP. Pertanyaan tak lebih berkutat sekitar buku, literasi, pemikiran Islam dan sejarah. Kita menyelami seluk beluk dan centang perenang dalam berliterasi. Katanya, beliau memiliki 5000-7000 judul buku dari berbagai penerbit dan tema. Katanya lagi, jika ditotal bisa untuk beli dua mobil. Katanya lagi, buku terlama pun beliau dapat dari tahun 1926. Katanya lagi, banyak koleksinya menjadi rujukan untuk riset riset ilmiah seperti LIPI. Katanya lagi saat membangun rumah, selain membangun untuk kamar tidur juga untuk kamar buku-bukunya.
Sangat penasaran, kita membujuk untuk menegok perpustakaan itu. Kita meminta izin dan dizinkan. Perasaan haru tiba tiba menyergap. Seorang muslim, pecinta ilmu pengetahuan, senang berbagi dan melayani para pencari ilmu, masyaAllah. Betapa akan banyaknya kelindan pahala di timbangan akhir hayatnya. Ammin. Masuklah kita ke ruang bekerja tuan rumah. Sampai mendongakkan kepala, isinya buku. Ruangannya kira-kira 2x3 meter persegi. Ada satu set PC dan dua meja membaca. Di bawahnya terserak robot-robotan milik jagoan-jagoan si bapak. Kita terheran-heran, lengkap sekali. Buku-buku cetakan pertama, kitab-kitab yang sudah menguning, buku-buku impor, mayoritas buku Melayu.
Belum puas, kita obrolkan lagi buku-buku dan hikmah-hikmah mempelajari ilmu. Adab-adab ilmu yang sering dilanggar tersadarkan di ruang itu. Seperti tertampar, sudah sejauh mana kecintaan kita terhadap ilmu. Di level apa kita mengikuti Firman Allah untuk membaca. Iqra’ – tak hanya seruan untuk membaca tekstual tetapi juga kontekstual. Melakukan disiplin keilmuan untuk membaca, menulis dan mendiskusikannya. Seperti terbawa ke zaman kegemilangan Islam di dinasti-dinasti lampau, bagaimana para ilmuan muslim membidani banyak karya yang memberikan sumbangan besar kepada dunia.
---
Kebesaran ilmu pengetahuan temuan para ilmuan muslim, sayangnya tidak dipandang adil oleh peradaban. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Para ilmuan muslim digugurkan oleh nafsu haus kekuasaan. Perebutan kekuasaan yang muncul tidak hanya dari serangan eksternal Islam tetapi juga internal Islam. Baitul Hikmah milik dinasti Abbasiyah dibakar, seluruh pustakanya dirobek robek dan ditenggelamkan di Sungai Tigris. Tubuh para ilmuan muslim disembelih. Sungai Tigris berubah memerah dan menghitam karena tinta dan darah para ilmuan. Hulagu Khan, sosok yang merangsek dengan beringas peradaban Abbasiyah. Di tahun 1258 M, keadilan Hulagu Khan terbiaskan oleh gemilang harta dan kuasa. Padahal jika saja Hulagu berpikir adil dan waras, membiarkan Baitul Hikmah aman, akan semakin menjadi permata dalam kekuasaannya nanti.
Keadilan terhadap ilmu pengetahuan dan aktor-aktornya kembali diuji. Jika saja bukan karena nafsu, mungkin ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilizatio) tidak akan ditutup. ISTAC adalah sebuah institut di Malaysia yang digagas dan dipimpin oleh Prof. Syed Muhammad Nuqaib al Attas. Didirikan pada 27 Februari 1987 dan diresmikan oleh PM Mahathir Mohammad tahun 4 Oktober 1991. Saat itu ISTAC merupakan institusi yang fokus menggarap pemikiran-pemikiran Islam dan mencetak ilmuan-ilmuan mumpuni terutama dalam pemikiran Islam.
Selepas Al-Attas tidak lagi menjadi pemimpin di ISTAC, muncul pergerseran di institut ini. Beberapa anak didik membuat institusi baru dan berimbas pada eksistensi ISTAC tersendiri. Kemunduruan ISTAC disinyalir ada tikung menikung antara guru dan murid. Serta ada yang memberikan alasan atmosfer politik di Malaysia tersendiri. Salah satu alasan yang diungkapkan penulis buku yang menjadi rujukan tulisan ini adalah adanya titik titik adab yang tidak dijunjung dalam menghargai ilmu pengetahuan. Padahal ilmu-ilmu tersebut adalah karya anak negeri sendiri dan saudara seiman. Kegemilangan keilmuan dibakar oleh hasad. Makna Sabda Nabi benar adanya bahwa ”Sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu”. Hasad telah memberangus visi mis ISTAC yang mulia. Keadilan menempatkan konflik gagal dipahami oleh orang orang disekeliling ISTAC termasuk pemerintahnya. Ikatan akidah seperti tak berguna. Keganasan menyudahi ISTAC dimotori kepentingan pribadi atau fanatisme kelompok. Adil sejak dalam pikiran dibiarkan apalagi sejak dalam hati.
---
Berkaca dari fenomena ketidakadilan atas keilmuan yang digagalkan oleh nafsu kekuasaan dari luar dan dalam sudah tercermin dari dua institusi besar. Selanjutnya, ada satu hikmah lagi yang ingin kuceritakan. Hikmah ini juga terinspirasi dari ketidakadilan, sesama al akh penyeru dakwah. Kami berusaha tak akan menyebut namanya.
Diujung perbincangan dengan pemilik rumah yang kita kunjungi, kita secara natural akhirnya tergiring dalam pembahasan pecah kongsinya sebuah gerakan. Pecahnya sebuah gerakan adalah lumrah. Dalam setiap gerakan pasti akan ada kemungkinan untuk serongnya internal menuju kekuasaan baru. Serongnya pasukan dalam sebuah gerakan dan kemudian membuat gerakan baru harusnya lagi lagi kita sikapi dengan adil. Bagaimana kita mengatur perbedaan, mengatur ketidaksamaan dan mengatur konflik yang timbul dari perpecahan tersebut. Singkatnya, tokoh yang kita kunjungi ini juga bagian dari gerakan yang sedang diuji.
Mengisi kajian kajian yang diselenggarakan salah satu gerakan Islam di Indonesia, adalah salah satu kesibukan beliau. Beberapa buku yang sering kita baca disyarah oleh beliau. Keilmuannya dibilang mumpuni. Beliau tekun untuk disiplin verifikasi dan melakukan kajian kajian pemikiran sebagai sumbangsihnya untuk umat. Hingga suatu hari, pecahan kongsi gerakan ini menyadur beliau juga sebagai pembicara. Meletuslah syak prasangka akhirnya.
Rumah beliau menjadi jarang dikunjungi kawan kawan sekongsinya. Buku-buku beiau dikata-katai, para pencari hikmah yang menjadikan beliau fasilitator dicecar pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran untuk mengikuti gerakan sempalan. Masih banyak lagi, ketidakadilan dalam memperlakukan saudara sesama muslim ini. Konsepsi adil, tabayyun, ukhuwah jadi hambar. Objektifitas terkalahkan oleh subjektifitas golongan. Bukan apa apa, namun mengabaikan orang yang berilmu mendalam seperti beliau seakan membuang mutiara terpendam. Apakah tidak bisa, jika memang sudah tak lagi sekapal namun menjadikan keilmuannya sebagai bekal untuk sama sama menjalankan bahtera masing masing golongan.
Kami kira bukan hanya beliau saja, masih banyak orang orang berilmu terdefinisikan pendek. Ini kami tulis bukan untuk membela golongan siapa, namun usaha mengembalikan keadilan dalam keilmuan keilmuan kita. Seperti belajar saat dinasti-dinasti lama, bercengkerama dengan berbagai mazhab adalah biasa. Melontarkan perbedaan pendapat adalah lumrah. Menitikberatkan keadilan sejak dari hati. Hati yang menguasai pikiran untuk membuat stigma dan paradigma.
Maka, jika Minke dan Annelis saja bisa menikah karena perbedaan. Apakah kita sebagai sesama muslim membiarkan ketidakadilan menghunus hati dan pikiran kita? Membiarkan sesama al akh tersakiti, terdzalimi hanya karena perbedaaan kongsi. Bukankah Rasulullah menyerukan mencari ilmu hingga China, padahal kita sama sama tau China bukan negara seagama. Apalagi kita, yang memiliki konsepsi iman, ukhuwah, pecinta keilmuan. Harusnya sudah seyogyanya, menjadi adil sebuah perbedaan untuk terus berusaha mencari jalan tengan terbaik untuk masalah keumatan.
Wallahu ‘alam.
Komentar
Posting Komentar