Aku punya sebuah film di laptop yang sudah amat sering diputar. Judulnya
adalah Monster University. Mungkin beberapa teman teman pernah menonton juga. Disitu
ada tokoh utama bernama Mike. Mike adalah seorang monster kecil berbadan bulat
dan hijau bermata satu yang besar. Mike masuk ke Monster University dengan
penuh semangat karna itu cita cita lamanya. Seperti universitas-universitas
lainnya pasti ada mata kuliah. Mike digambarkan menjadi sosok yang ambisius.
Pada suatu hari, rektornya MU (Monster University), karena suatu hal
mengancam Mike keluar dari salah satu mata kuliah favorit Mike. Mike tidak
terima dan mencoba membalaskan dendamnya dengan mengikuti kompetisi ‘the best
monster’ di MU. Karena dipandang sebelah mata, Mike membuktikan dirinya untuk
memenangkan kejuaraan itu. Mike mendaftarkan diri dengan timnya. Singkat cerita,
Mike berhasil hingga sesi terakhir. Di penghujung tantangan, kawan Mike,
meminta Mike untuk giliran paling akhir. Mike menurut. Pada giliran Mike, Mike
masuk ke tantangan. Para penonton berdebar, apakah Mike bisa melampaui
tantangan tersebut. Semua mata tertuju pada billboard skor. Dan boom ! Mike
melampaui tantangan itu dengan sempurna. Semua bersorak, memanggul Mike
merayakan kemenangan itu.
Sullivan, teman Mike di pinggir lapangan tersenyum, ikut menyalami
Mike. Di tengah inagurasi kemenangan tim Mike, Mike masih tak mempercayai
kemenangannya. Melihat Sullivan dengan gesture yang tak biasa, Mike mendelik. Mike
masuk ke arena tantangan lagi, mendekati alat dan Mike menemukan sesuatu. Mike
tersadar dan membuang muka.
Sebelumnya kawan Mike, Sullivan, masuk ke tantangan ternyata untuk
mengatur alat di tantangan terakhir itu error. Tujuan Sullivan adalah agar Mike
dapat mudah melewati tantangan itu. Sullivan membantu, karna Sullivan kurang
percaya jika dengan kemampuan Mike semaksimal bagaimana pun tidak mampu
melewati tantangan tersebut. Mike marah. Mike kecewa. Mike menang bukan memang karna Mike pantas
untuk menang atas kemampuannya. Mike menang hanya karna kecurangan yang
dilakukan oleh sahabatnya sendiri. Mike menekuk lesu, terduduk marah.
Namun di suatu pagi, ramadhan hari kesekian di negeriku tersayang
ada pengumuman kemenangan. Janjinya akan diumumkan masih tanggal 22, tapi
nyatannya sebelum harinya gong kemenangan sudah dipukul. Hasil sebuah pemilihan
pemimpin negara yang proses pemilihannya banyak menimpa kemalangan rakyatnya. Pemilihan
pemimpin negara yang sistem pemilihannya memakan waktu lama, biaya raksasa,
butuh banyak punggawa di balik suksesi pemilihannya, bahkan baru di sejarah
pemilihan umum di negeri ini adalah memakan korban jiwa tergila.
Dikabarkan di berbagai portal berita, 500-an petugas
penyelenggaraan pemilu (baik pengawas, panitia, dan jajaran lain) meninggal
dunia. 1000-an terkulai lemas di rumah sakit tak berdaya. Kemenangan si tuan, ditengah badai ketidakpercayaan rakyatnya
sendiri. Kemenangan si tuan di atas gelaran kecurangan. Kemenangan si tuan,
dipasok tim tim pembuat onar. Si tuan tidak se-kecewa Mike. Jika Mike menang
lalu ia kecewa karena ia menang di atas kecurangan, berbeda dengan si Tuan. Si tuan
tersenyum-senyum di balik konfrontasi yang dilakukan rakyatnya. Merasa baik
baik saja, padahal yang dilakukan tim kemenangannya menzalimi rakyat yang
katanya jadi tonggak perjuangannya.
Setelah pemilihan umum selesai, berbagai spekulasi disiarkan oleh
media-media si tuan. Ketimpangan mulai muncul. Jika saja jiwa ksatria
memang ada di dada, maka mengapa si tuan
tidak mengambil podiumnya dan memberikan perintah penyelanggara pemilu di
negerinya untuk mencecar jika ada kecurangan. Jika saja jiwa sahaja ada di
dada, maka mengapa tuan hanya senyum senyum mengebiri aspirasi rakyatnya yang
tak percaya dengan prosesi penghitungan suaranya.
Komisi penyelenggara juga menjadi plin plan. Janji pengumuman
adalah hari ke dua puluh dua. Namun naasnya, sebelum hari yang sudah ditentukan
pengumuman sudah ditetapkan. Si tuan menurut aplikasi penghitungan unggul dari
lawan. Rakyat sebagian besar kecewa. Rakyat dikalahkan aspirasinya untuk
mengejawantahkan kecurangan kecurangan yang ada selama pemilihan. Jika saja
komisi penyelenggara percaya diri bahwa apa yang dilakukannya bukan kecurangan,
mengapa tidak menerima saja hasil perhitungan pihak pihak yang memprotesnya
agar ada ‘cover both side’ di antara hasil kedua belah pihak yang berlawanan.
Setelah pengumuman ditetapkan, si tuan sejatinya kalah memenangkan
hati rakyat yang katanya diperjuangankan. Rakyat bergejolak. Asap ‘people power’
berhembus. Mau tidak mau, itu yang akan dihadapi tuan. Bagaimana nantinya,
kiranya gerakan massa akan tetap terlaksana bahkan sebelum yang diprediksikan. Di
sosial media negeriku dua hari ini sudah terpantau. Kegelisahan rakyat tak
terbendung. Berbagai tagar sudah dicuitkan. Si tuan hanya menang dari hasil
inputan aplikasi pesanan. Si tuan tidak seutuhnya memenangkan apa yang harusnya
ia menangkan. Kemenangan si tuan banal. Kemenangan itu hanya akan diicipi
sebagian elit. Sisanya, pendukung si tuan di kalangan marjinal hanya akan
diberi kesan pencitraan. Kritik, dibungkam. Pertanyaan untuk divalidasi bahkan oleh seorang dokter yang mencurigai kematian kematian 500-an orang didiamkan, dokternya yang diancam bui. Tim asistensi hukum dilegalkan untuk menciduk semua yang dirasai melanggar hukum baik ucapan atau tindakan pasca pemilihan pemimpin.
Kepada si tuan. Selamat, selamat atas kemenangan banal. Tuan, tuan
punya hasil penghitungan aplikasi pesanan. Tapi tuan gagal meyakinkan seluruh
rakyatnya, bahwa tuan pantas dimenangkan. Tuan kalah, disebagian besar
rakyatnyau dan kalah atas pundi pundi uangnya yang tuan dan timnya gelontorkan.
Baru dua hari setelah pengumumannya, sudah mulai banyak gejola di rakyatnya. Rakyatnya
bukan masalah siapa pemenangnya, tetapi di negeri ini memperjuangkan kepantasan
pemimpin yang gagal untuk memimpin lagi lima tahun ke depan.
Kali ini, dikemenangan banal si tuan. Tunggu saja, akan semakin
banyak rakyatnya yang bangkit. Mata rakyat di negeri ini semakin jeli. Gerakan mahasiswa
menjadi bangkit lagi melihat inkonsisteninya untuk mewujudkan janji nawacita
lima tahun lalu. Emak emak bahkan sekarang turun tangan bermodalkan tutup panci
di dapur mengepul sambil memaki maki, bahwa pemimpinnya yang lalu gagal
mewujudkan listrik murah, pekerjaan melimpah, -- akan maju lagi. Anak anak
sekolah yang sudah melek politik, makin asik buat konten menggelitik.
People power bukan hanya tentang turunnya massa sebanyak reformasi
yang sudah 20 tahun lalu terjadi. Zaman berganti, orang orang yang dahulu
menyengkuyung reformasi mungkin ada yang sudah mati, namun ide, gagasan tak
pernah mati suri. Ide gagasan hanya berubah bentuk sesuai kondisi. Dan selama
masih ada manusia manusia berhati dan berakal, berprinsip bahwa kezaliman
adalah musuh abadi, kemenangan banal si tuan hanya akan menghitung hari.
Komentar
Posting Komentar