لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu...." Ali Imron : 186
Allah tak pernah kekurangan cara untuk menunjukkan kekuasaan-Nya.
Dengan tanda-tanda kauniyah ataupun kauliyah, keberadaan Allah sangat kentara
bagi mereka mereka yang beriman. Perkembangan teknologi kurang hebat apalagi,
tapi apa daya usaha untuk menghadirkan buah hati bagi pasangan mbak Hanum dan
mas Rangga belum juga bertanda. Pernikahan keduanya sudah lebih dari 11 tahun
menanti, ikhtiar dengan segala piranti fertilitas baik dari klinik luar negeri
hingga luar negeri sudah dijamahi, proses pijat alternatif hanya menghasilkan
badan semakin kaku dan nyeri, minum pil-pil penguat sudah bertablet tablet
namun jawabannya masih nihil. Klinik fertilitas di Wina, tempat mas Rangga
menyelesaikan studi S3-nya, memiliki pakar fertilitas terbaik di Eropa, namun
pakar tersebut mengaminkan ada faktor X yang menghambat program kehamilan mbak
Hanum. Faktor X itu diterjemahkan oleh mas Rangga dan mbak Hanum yang beriman
sebenar-benar kersane Gusti Allah. Kuasa Allah tergambar jelas pada
program kehamilan mbak Hanum, perkembangan teknologi tak mampu menjelaskan
mengapa terus menerus mengalami kegagalan.
Apakah dengan begitu keduanya menyerah? Tidak. Kutipan yang paling
mendominasi untuk terus berusaha menghadirkan si bayi adalah There’s a life,
there is a hope. Sepasang suami istri itu sangat menginspirasi. Bagaimana
meletakkan keimanan di atas segalanya. Rejeki atas ‘anak-anak’ mbak Hanum
berupa novel yang kemudian menjadi best seller dan masuk box office Indonesia,
tak membuat keduanya semakin jumawa. Kehebatan mas Rangga sebagai suami dan
kesabaran mbak Hanum sebagai istri mengalir dalam novel “I am Sarahza”. Memang
mbak Hanum sempat membuat perhitungan kepada Allah, atas bertubi-tubi kegagalan
kehamilannya. Namun apa yang didapat malah semakin membuat mbak Hanum tersuruk
dalam lorong lorong gelap. Lorong keputusasaan, lorong kecemasan, gelap dengan
rasa tertinggalkan, hingga mbak Hanum hampir terserang sarafnya. Mbak Hanum
sangat takut atas ucapan emosional yang pernah terceletuk di masa lalu, bahwa
ia merasa tidak apa apa tidak memiliki anak. Namun kini nayatanya itu adalah
impian terbesarnya melebihi apapun. Dengan kasih sayang suaminya, ayahnya (Pak
Amien Rais), ibunya, dan mertua, mbak Hanum bisa kembali seperti sediakala.
Mbak Hanum kalah. Ia kapok membuat perhitungan dengan Rabb-nya. Allah hadir
lagi dengan kekuasaannya. Kekuasaan yang walau hanya menitipkan setitik
kecemasan, setitik ketakutan dalam hati hambaNya. Allah lebih kuasa untuk
membuat hambaNya merasa tidak ada apa apanya. Saat membaca, semakin meleleh ini
air mata.
Seusai pasrah sepasrahnya, ibu mbak Hanum meminta untuk sekali lagi
mencoba. Beliau ingin jika suatu hari nanti sudah kembali ke hadapan Allah, ibu
mbak Hanum sudah menemani putrinya. Sungguh pada paragraf-paragraf tersebut
disuguhkan bahwa seorang ibu akan selalu seperti itu fitrahnya. Ibu adalah
sepasang sayap malaikat yang Allah turunkan. Dengan rengkuhan dan dekapan ibu,
semua terasa baik-baik saja. Ibu mbak Hanum mengorbankan untuk menemani mba
Hanum promil lagi di Surabaya, dengan sebelumnya berjuang untuk mendaftarkan
mba Hanum dan mas Rangga tanpa sepengetahuan keduanya. Awalnya ditampik mbak
Hanum dan mas Rangga karena ada alasan pekerjaan filmnya. Ibu mbak Hanum
terkesiap, ini permintaannya terakhir tetapi malah ditolak. Hingga pak Amien
Rais menegaskan, keduanya harus berangkat. Dengan muka jeri, mas Rangga bingung
mau membela siapa karena kedua pilihan itu menjanjikan. Hingga akhirnya, mbak
Hanum menunjukkan baktinya, melanjutkan promil kesekiannya namun kali ini demi
baktinya kepada orang tua terkhusus ibunda.
Perjalanan
Jogja – Surabaya ditempuh. Promil kesekian dengan kegagalan sebelum-sebelumnya
membuat mbak Hanum sudah memasrahkan yang terbaik. Titik keimanannya teruji kembali.
Setelah mampu melawan titik nadirnya, mbak Hanum mencoba menghadirkan seluruh
hati, jiwa dan fisiknya untuk promil di Surabaya ini. Program diselesaikan
hingga batas akhir dan jawabannya terang benderang dari Lauhul Mahfuz. Sebuah
janin bernyawa akhirnya bisa menempati gua garba mbak Hanum. Semua pihak
mengharu biru. Keimanan mbak Hanum dan semua pihak keluarganya naik tingkat.
Allah kembali menghadirkan kekuasaanNya. Dengan jalan kehamilan yang mepet di
usia 40 tahun. Allah kembali menjawab segala rintihan hambaNya. Allah selalu
memenuhi janjiNya.
Maka terang, ketika membaca novel ini seakan terhentak. Kurang
apalagi Allah menghadirkan kuasaNya ? bukan Allah yang salah, tapi kita selalu
terhalang pada egosentris diri. Egoisme diri dan telikungan nafsu membuat
enggan untuk mengikuti jejak keimanan itu sendiri. Kekuasaan Allah sudah
tertampakkan namun tiba-tiba kita mengingkari dengan suka merasa tercampakkan,
terbuang, terabaikan atas nikmat Allah. Perasaan perasaan yang bergelayut
tersebut sungguh adalah tipu daya setan.
Keimanan kita atas syahadat yang telah terucap berimplikasi pada
ujian-ujian yang datang silih berganti. Seperti pada level anak sekolah, ujian
membuat mereka naik kelas selepas mendapat materi-materinya. Anak yang tinggal
kelas akan mendapat materi yang sama lagi untuk diujikan lagi suatu hari nanti.
Bedanya, ketika sekolah ujiannya terjadwal untuk kehidupan ujian akan
ditangguhkan sesuai kesiapan naik kelas makhluk Allah.
Kedua, kekuasaaan Allah yang terang benderang tertutup dengan
noktah dosa yang sudah mengerak. Cahaya Allah menjadi bias. Hidayah menjadi
terhalang. Potensi kebaikan menjadi anai-anai terbang. Pun ketika ada kebaikan,
bisa jadi tak kan ada yang menjadi ruh-nya. Jika sudah seperti itu, kebaikan
tak akan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Kebaikan yang sudah diamalkan
harus menjadi penambal lubang-lubang kemaksiatan terlebih dahulu. Maka ketika
mba Hanum benar-benar terpuruk, Ayahnya mencoba meredifinisikan untuk
beristigfar. Sungguh, sebelum kita meminta Allah melunasi janjiNya kiranya kita
sendiri harus memastikan apakah kita pantas mendapatkannya, apakah jiwa ini
telah bersih untuk mengkalkulasikan permintaan-permintaan kita kepada Allah
semata. Ataukah bisa jadi ada titik titik ketidakikhlaskan ibadah yang harus
ditegakkan.
Berlarik-larik aksara ini sungguh adalah petuah bagi diri sendiri. Dimana
akhir-akhir ini sering mempertanyakan keabu-abuan rejeki. Padahal setiap yang
bernafas sudah di atur rejekinya di atas Lauh Mahfudz sana. Tinggal bagaimana
proses penjemputannya, bagaimana melewati ujian keimanannya dan seperti apa
keikhlasan pinta yang dihamparkan diri ini khusus hanya untuk Maha Pencipta. Allah,
ampunilah.
Toppp
BalasHapus