Terompet yang berisik atau gemerlap kembang api
tahun baru aku tak tahu. Aku telah terlelap sejak pukul setengah
sembilan malam. Hujan gerimis mengguyur langit akhir tahun. Aku tak peduli dengan pertunjukan
kembang api. Aku telah mengantuk sejak sore, entah efek terlalu kenyang atau
efek terlalu kelelahan. Pikirku juga kelelahan, kelelahan mengunyah makanan. Usai
mengenakan selimut, sudah tak ku ingat lagi iklan di tv.
Pagi, 2020 tiba. Ya sudah tahun baru saja. Ketika ku buka
beranda gadget, tertulis 1 Januari 2020. Hujan masih awet. Aku terlelap hampir
satu tahun, 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020. Setelah menunaikan tugas
semestinya, ku coba saja membukan Instagram dan WA. Sialnya, sinyal belum
menyapa jadi masih saja dengan feed kadaluarsa. Setelah beberapa menit, sinyal
akhirnya mampir. Orang-orang sedang dalam masa kelaziman untuk memberi ucapan
selamat tahun baru telah datang. Beranda penuh dengan tagar resolusi, penuh
dengan tagar positivity, dan rentetan impian yang telah terlampaui. Boleh sih
bebas, karna sosial media tak kenal permisi. Ketika kita yang silap mata, maka
pintar pintar saja agar tak terdistraksi.
2019, satu tahun 365 hari telah berlalu. Terima kasih atas
kebahagiaan kelulusan yang telah purna. Pun juga ku sampaikan kebahagiaan-kebahagian
kecil yang beruntun dengan jalan yang terencana atau tak sengaja. Perjalanan-perjalanan
yang terlampaui, baik sendiri atau bersama siapa saja. Hadiah-hadiah yang
dikirimkan Allah dari tangan orang orang baik.
2019, pelajaran-pelajaran yang mengantarkan pada kesedihan,
kesombongan kecil, kebohongan besar, perseteruan, pengakuan bersalah, aku
bersimpuh. Di tahun yang terlewat satu hari dari sekarang ini, ku belajar
banyak dari kesalahan yang dibuat-buat. Pada kasih sayang yang semu untuk
dipertahankan, pada waktu yang terbuang dalam kesia-siaan dalam sebuah
hubungan. Hubungan yang kata alvisyhrn, dengan rasa sayang yang dipertahankan,
apakah bisa menjadi jaminan untuk menyelamatkan diri di dunia dan akhirat ?
2019, terima kasih telah memberi kesempatan untuk melihat
kerasnya dunia nyata dan dunia pekerja. Dunia kerja setelah ku tahu bukan hanya
dunia orang tu, ia bisa dunia anak muda juga pun juga bahkan anak yang kurang
umur. Dunia kerja syaratnya hanya satu, dia yang mau mempertaruhkan jiwa
raganya untuk sebuah tuntutan. Beberapa tawaran masuk, namun masih banya
pertimbangan. Aku tak ingin terjebak iming-iming gaji sekian namun hanya
tertuntut banyak kebijakan. Memang benar dunia kerja akan membentuk profesionalisme
dan kedewasaan, namun sedang ku temukan sebuah jalan. Pilihan yang tumbuh dari
keputusan hari hari lalu. Kata ariapradana, jalan seperti ini sepi dan terjal. Namun
dalam tepinya tumbuh bunga-bunga, sejuk sekitarnya. Mungkin diujungnya akan
terbayar keindahannya.
Panggilan seseorang membuyarkan detik-detikku mengulang 2019.
----
“Mbak, cepetan cucian diurus. Diangkat ke dalam. Uda mendung
juga, kalau mau pergi buruan pergi, keburu hujan” dengan nada 5 harakat, “tau
kan”, mama mengubah situasi yang tadinya dingin menjadi hangat. Rebahan tersudahi.
Membuatku ‘menyat’. Mama galak, dan seperti sebuah kutipan yang kubaca di masa
lalu, mama adalah algojo Fir’aun yang tertinggal.
Cucian langsung ku sambar. Motor segera ku siapkan, dengan
tak lupa perlengkapan di jalan. Aku gamau kena omelan, kalau nanti pulang
dengan baju kuyup air hujan. Di dalam hati ku bersungguh-sungguh menambahkan
resolusi tahun ini, jangan galak seperti mama.
Beep beeep beep
Surat dibawa kurir WA tiba dengan pesan
Gue saranin, lo tetap menjadi galak yang bernilai tinggi
Dari pada menjadi lembut tapi tersiksa setiap hari
Ya Tuhan
Itu pesan dari pasukan algojo Fir’aun yang tersisa lagi?
Sama
banget pesannya sama mama.
Komentar
Posting Komentar