Datang
sebuah pesan di suatu sore. Seorang kawan kuliah yang sekarang sudah bekerja.
Seperti biasanya, mungkin hanya untuk saling sapa bertanya lagi apa, sedang
dimana. Terlihat basa-basi, namun cukup ampuh untuk menyambung silaturahmi.
Namun sore itu, pesannya berbeda.
“Aku
lagi nggak baik-baik saja”
Oke.
Segera keberalih mode serius. Mendengarkan adalah proses belajar terbaik
bagiku. Ku tanyakan mengapa, ada sedikit jeda dalam pesannya. Di notifikasi
aplikasi ....is typing. Ku biarkan sejenak sambil kulanjutkan bacaanku.
Panjang
lebar pesannya, intinya
“Aku
sudah bekerja. Gajiku juga sudah bukan anak magang. Ayah kadang masih infuse
uang jajan kalau aku mau keluar. Tapi kenapa ada sesuatu yang bikin aku nggak
bahagia ?”
Kembali
ke cerita kami, sore itu kita berdiskusi panjang. Tentang sebuah hal yang
menjadi incaran seseorang menjalani hidup. Bagaimana pun, setinggi apapun
pangkat seseorang. Kiranya kita semua sama, mencari sebuah ketenangan hidup.
Sudah
berapa banyak kasus bunuh diri, padahal ia bergelimang harta, kekuasaan,
jabatan. Artis artis korea banyak yang mengakhiri hidupnya, di tengah pusaran
karirnya. Penyanyi mendunia mengakhiri hidupnya dalam misteri, padahal apapun
ada padanya. Jika sebuah kehidupan dikata hidup ketika berharta, bertahta, berkuasa,
mengapa masih banyak kasus seperti itu juga.
Seperti
kondisi kawanku ini, ternyata sekali lagi. Bukan tentang uangnya, ada yang ia
cari. Ada yang ia pertanyakan menjadi sebuah anomali. Ia merasa bodoh. Kebodohan
karna tak mengerti mengapa masih ada keresahan pada dirinya ini.
Ku membuka,
sebuah aplikasi. Ku ketik sebuah kata kunci “ketenangan”. Muncullah sebuah
pesan cinta dari Yang Maha Menghidupi
“Dialah
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk
menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah
bala tentara langit dan bumi dan Allah
Maha Mengetahui Maha Bijaksana”
Serenity
is a granted. It deals to God’s will.
Ketenanganlah
yang membuat orang orang papa menjadi tetap bahagia. Ketenanganlah yang
menjadikan risalah Rosul masih tersyiarkan ditengah musuh-musuh yang
merajalela. Ketenanganlah yang menjadi daya juang orang tua terus menghidupi
anaknya, meski mungkin banyak hutangnya.
Kita
kembali ke obrolan, di tengah kebingungan di seperempat abad nampak betul kita
sama sama sedang mencari jalan ketenangan itu. Namun ternyata sudah teramat
jelas bahwa ketenangan itu diberi. Ketenangan itu diturunkan dari sisi Tuhan,
menuju hati-hati yang beriman.
Kita
hari itu menjadi orang yang sangat bodoh. Mengilhami kehidupan dan menjalani
hidup hanya disandarkan pada sesuatu hal yang rapuh. Bukan IPK cumlaude yang
menyelamatkan, bukan besaran angka dalam rekening yang masuk setiap bulan. Bukan
pula siapa laki-laki idaman yang menggandeng tiap hang out keluar. Bukan seberapa
branded, outfit yang kita kenakan.
Percakapan
kami sore itu menjadi pengingat kembali. Kita masih alpa, masih dalam dimensi
kebodohan. Mendekat dengan Sang Pemberi Ketenangan saja masih jarang. Berdoa pun
cepat-cepat. Sunnah kekasih-Nya terlewat. Seruan firman-firman cinta-Nya abai
begitu saja.
“Iya
ya. Aku sudah lama tak berdoa. Aku banyak melewatkan tahajud dan dhuha. Aku terlalu
sibuk bekerja. Nyatanya apa yang kita kejar, tak melulu membahagiakan. Iya benar
bego amat ya”
Aku yang
mendengarkan mengamini. Aku juga masih bodoh. Hari-hari kita masih dalam
kebodohan. Aku berharap hari ini adalah hari terakhir kita menjadi bodoh. Aku berharap
untuk kamu yang juga membaca tulisan ini mengamini. Jika kamu juga merasa burn
out, untuk hari-hari mu yang
menjenuhkan, kita kembali cek lagi. Apa yang sudah kita sembahkan, untuk Sang
Pemberi Ketenangan.
Mari
kita berjanji, hari ini adalah hari terakhir kita menjadi bodoh. Meminta ketenangan
namun tak pernah menyapa Pemberi-Nya. Menyandarkan kebahagian pada hal-hal semu
dunia, padahal masih panjang jalan kita hingga akhirat sana.
Komentar
Posting Komentar