Ujian hidup itu seperti ujian sekolah. Hal yang diujikan akan mengubah kelas kita. Begitu pula ujian hidup, akan mengubah jalan jalan kita. Selama pembelajaran, peserta didik akan dijejali materi-materi. Harus sabar, harus telaten, agar materi yang diberikan masuk dalam benak dan menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Ujian hidup tak terlalu jauh dari itu. Ketika kamu diberikan materi sabar, maka kau akan serta merta setiap waktu diuji kesabarannya. Agar kamu benar-benar lulus menghadapi bab kesabaran
Empat
tahun yang tak mudah. Tiga tahun awal semua terjadi begitu cepat. Tanpa narasi,
yang penting semua jalan dulu seperti ini. Tidak ada alokasi khusus mengurus
hal yang telah dilahirkan sebagai anak pertama. Kesibukan masing masing membuat
sebuah pemakluman sendiri.
Tiga
tahun pertama, semua ditahan dalam diam. Kepura-puraan, kebohongan, apatisme,
hanya datang tentatif, membuat tak ada hal spesial. Bergulirnya waktu, makin
lama makin terasa lelahnya. Selelah-lelahnya. Amat sangat ingin menyudahi dan
membuang jauh angan yang sudah ditata sedemikian rupa. Meski hanya di angan
angan sendiri, yang dihanya dibagi pada Illahi Rabbi.
Tentang
anak – anak
Tahun
keempat. Mungkin kata pepatah ada benarnya, semua sabar ada batasnya. Batas
untuk diam seribu bahasa apa yang dirasai pecah. Kebohongan sistemik mengakar
akhirnya jatuh berkeping keping karena dicecar dari banyak sisi. Kepura-puraan
dalam menanggung beban, runtuh dalam sujud yang dalam. Seakan limbung, kapal
yang membawa anak-anak kita terhantam badai setelah tiga tahun pertama terasa
semua baik-baik saja.
Tahun
keempat, usai badai dilalui harus ada perundingan kembali. Nyata, badai
mengubah arah kapal. Nakhoda dan kelasi-kelasinya harus mengubah arah agar
sesuai tujuannya. Setelah dicek, ternyata untuk kembali pada jalur edar dalam
kesepakatan pertama terlalu jauh. Sedang usia dan waktu memburu. Lantas
bagaimana? Akhirnya digelarlah permusyawaratan untuk mencari jalan keluar.
Hasilnya kapal harus terus dilajukan dengan arah yang sudah terdampak badai.
Bagaimana pun nanti yang akan ditemui kapal ini, semua harus menyiasati
keberadaan jalur pemberharuan.
Permusyawarahan
tak sekedar bagaimana kapal akan dihias setelah sampai di labuan yang
ditujunya? Permusyarahan terkait kesediaan pangan, kepandaian SDM dalam
menggerakkan teknis mahligai kapal, kualitas SDMnya, keakuratan untuk
menentukan sikap dan rancangan kedepan, kondisi kesehatan, kondisi finansial,
serta yang paling penting adalah kekuatan semangat untuk melanjutkan
perjalanan.
Tahun
keempat, anak-anak kita menjadi lebih terurus lagi. Komitmen yang sudah
disepakati bersama. Niat untuk terus memperbaiki, kesempatan untuk penuh waktu
bukan paruh waktu, dan serangkaian IYA menjadi sebuah ujian dan kesempatan.
Tahun
keempat, adalah sebuah kumpulan hari yang kiranya akan menjadi sebuah arti.
Labuhan mana yang akan dituju, diujikan keputusan di awal pasca badai berlalu
di tahun ini.
Tahun
keempat banyak tangis air mata para kelasi, membuat cemas nakhoda, dan bayang
bayang tak sampai menghantui. Kesabaran kru diuji lagi, tatkala ada beberapa
diantaranya gugur tak kembali. Entah apapun alasannya, satu dua mereka
mengemasi peti. Tinggal dua dari sekian orang di balik kemudi melanjutkan.
Ada
sebuah dongeng yang harus dirancang. Harga sebuah percaya harus terbayarkan.
Mungkin sang penandai hanya dalam dongeng novel pengarang terkenal. Namun
ternyata keberadaan Sang Penandai hidup di sanubari masing masing. Semua orang
percaya akan memiliki dongeng masing masing. Entah apapun perannya, di kapal
itu ada banyak dongeng yang berkelindan satu sama lain.
Untuk
mencapai titik akhir perjalanan dongeng ini, lewat Sang Penandai mentakwilkan
harus ada keputusan-keputusan berat yang kemudian hari berubah menjadi rentetan
akta kelahiran anak-anak. Usaha mencapai labuan akhir yang sudah disepakati
beranak pinak menjadi kesepakatan kesepakatan baru yang makin menantang
perjalanan.
Sembab
adalah jalan mengulur waktu
Tak
disangka, ujian hidup melalui perjalanan ini menguji batas kesabaran, rasa
syukur dan penerimaan. Tak sabar, akan bernasib seperti kelasi yang sudah
sudah. Tak pernah dinikmatinya matahari yang akan tenggelam di kaki langit
melalui balkon kapal lantai dua. Tak dirasanya ramuan tiap kali jatuh terkapar
sakit melanda. Tak dipandangnya kondisi dari berantakan menuju rapi. Tak bersyukur,
ia akan segera melepas perannya dan menggadaikan idealisme yang telah dicoba
digigitnya lepas tiga tahun lalu. Ia lupa, ia akan menjadi salah satu penemu
kehidupan yang lebih baik. Ia abai atas dongeng yang harus diselesaikannya.
Sembab,
mungkin menjadi pertanda lemahnya seseorang. Namun ada kalanya, dalam
perjalanan-perjalanan ini membiarkan mata sembab adalah bagian mengulur waktu.
Menangis menjadi cara menumpahkan kekhawatiran, sebab di antara sesengguknya
ada doa doa panjang yang dirapal. Menangis adalah cara menguji empati terbaik
antar kelasi dan nakhodanya. Apakah di antara mereka terjalin sama rasa. Posisi
menangis kiranya selalu menungkupkan telapak tangan dan merunduk dalam. Posisi
yang menunjukkan bahwa tiap insan adalah lemah. Sedang yang menguatkan dalam
tiap hembusan nafasnya tak lain tak bukan hanyalah Tuhan Yang Maha Esa tuk
disembah.
Sembab,
juga akan menurunkan usapan penuh kasih sayang. Lembut dibisiknya, kuat
ditatapnya, gagah dilindunginya, ada kata yang tak perlu diucap namun hangat.
Bersabarlah,
bersyukurlah
Dongengmu
harus kau selesaikan
Kau
tak kan mengerti tanpa kau mencoba hingga dengan titik darah penghabisan
Kamu tak kan pernah mengarungi samudra yang luas itu sendiri.
Ada burung camar,
senja dan sorot mata yang teduh menemani.
Komentar
Posting Komentar