Hallo dunia, saat semua tak baik baik saja, rupanya kita tetap harus berjalan sediakala. Seperti kayuhan sepeda, agar tak jatuh, tugasnya tetap harus mengayuh hingga akhirnya kita bisa mencapai jarak yang jauh. Saat ini, di usia yang hampir seperempat abad, di tengah badai pandemi, banyak hal yang memang harus kita pelajari. Selain kita harus belajar menjadi dewasa, kita juga kan mendapatkan kesempatan belajar untuk mengolah daya tahan kita terhadap keadaan yang tak kita inginkan. Bahkan tak hanya kita, seluruh dunia rupanya.
Kita semakin kesepian bukan ? tapi itu rasa-rasa yang wajar. Hingga
banyak dari kita menisbahkan menyegerakan mencari pasangan adalah jawaban. Apa benar
? mungkin itu hanya rayuan, halu halu belaka, ngebucin karena linimasa penuh
dengan konten couple halal para selebgram. Terlebih ketika circle kita satu per
satu pamit, graduasi kesendiriannya. Sedang kita masih sibuk menata diri,
menata hati, menata ruhani, juga menata finansi. Apa salah jika menyegerakan ?
tapi coba pertanyakan apa itu keinginan ibadah demi Rabb Semesta Alam atau
hanya rayuan setan.
Rasa-rasanya pantas, namun masih suka kemrungsung-an. Rasanya
sudah ba’ah, namun emosi masih naik turun meledak-ledak. Rasa-rasanya sudah
bertemu yang pas, namun itu mungkin hanya karena sering bermuamalah yang
terinfused perasaaan yang dibiarkan. Melamun jauh kita ke depan. Sampai kapan
kita menjalani hari-hari kita sendiri, sudahi sekarang atau masih nanti?
Kemana pertanyaan ini akan berlabuh. Lamun kata, terjawab pada
sebuah percakapan di sebuah kanal. Ada tiga tanda bahwa diri kita telah siap
meninggalkan dunia jofisa. Pertama adalah fisikmu. Fisik kita harus siap
menjalani ibadah sepanjang masa ini. Tanda paling utama adalah kemampuan
reproduksi kita. Selain itu pastikan kita sehat, tak membawa penyakit genetik. Jika
pun komorbid, sampaikan dan usahakan penyembuhannya. Karena kita sedang akan
membentuk penerus masa depan. Jangan sampai kita meneruskan kekurangan. Syariat
agama kita adalah juga penjagaan keberlangsungan generasi.
Kedua adalah kesiapan ilmu. Ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Perjalanan
mengarungi bahtera rumah tangga bukan perjalanan yang bisa diputar kembali.
Jika sudah menaikkan layar, buatlah bahtera itu terus jalan ke depan, meski
dalam tenang atau badai menerjang. Dengan ilmulah, seorang nakhoda dan kelasi
terbaiknya akan menjalani perjalanan itu dengan lebih siap siaga, tidak dengan
perjalanan yang konyol seenaknya. Ilmu pulalah yang akan membedakan kualitas
keluarga satu dengan yang lain. Kesiapan ilmu bisa kita gali dari life
experience orang tua kita, guru-guru kita di halaqah, majlis ilmu, dan lainnya.
Yang berilmu memang belum tentu sampai akhir perjalanan ini, namun dengan ilmu
sudah pasti menaikkan kebaikan di bahtera nanti.
Ketiga adalah emosional handling yang proporsional. Ketika aku
terlalu memperhatikan egoku, tanpa menghiraukan yang lain maka hanya akan
tercipta ke-aku-an tak ada frasa kita. Sedangkan di awal ketika akan menjalani
bahtera ini, sudah banyak janji aku+kamu = kita. Contoh lagi, seberapa matang
emosional kita saat kita menghadapi masalah. Apakah kita akan mempertontonkan
di dunia maya, atau kita meredam diri bersikap sedermanya. Sungguh emosional
menurut Ummu Alila, mengambil peran banyak untuk menjawab seberapa pantaskah
kau menikah.
Tumben kamu menulis tentang ini ? Galau ya setelah dikabari
soulmatenya siap melepas masa sendiri XD. Tenang, semua kan tiba masanya. Sekarang
kamu sedang dalam gelanggang mewujudkan cita-citamu yang lain. Kau akan tetap
menjadi seorang putri. Meski sendiri, kau tetap ratu di dunia kecilmu. Tak perlu
merunduk lesu. Kisahmu telah tergores indah di Lauh MahfudzNya. Tugasmu persiapkan
masa-masa itu datang.
Komentar
Posting Komentar