Sebuah series kedua, kini tentang Tante Kania dan Langit
Hujan gerimis masih menghiasi bulan April. Di tengah kekhawatiran
sebuah wabah yang kemudian menjadi pandemi, ada sebuah kepulangan yang tak
diharapkan Kania. Sebuah telfon dari deret nomor tak diketahui membuatnya
segera mengepak baju untuk pulang. Perjalanan 38 jam di udara dengan transit dua
kali cukup menguras tenaganya.
Perjalanan normal saja sudah melelahkan, sekarang diiringi dengan protokol
kesehatan yang lebih ketat dari biasanya.
Changi Airport, sebelum benar benar masuk ke Indonesia, menjadi transit
di luar terakhir. Suasananya sangat lengang. Air mancur besar yang biasanya tak
pernah sepi untuk berselfi, menjadi gagah berdiri sendiri. Untuk mendekat,
Kania enggan juga. Ia sudah tidak sabar melepaskan barang bawaannya menghambur
segera ke sumber suara yang menjadi alasannya pulang. Perasaanya campur aduk,
situasi kesehatan global semakin membuatnya tersuruk.
Kania sembari menunggu panggilan pesawatnya, sempat ia mengecek
email balasan Profesornya. Satu jam sebelum take off pesawatnya di Oslo International
Airport, Kania hampir lupa untuk mengabari profesornya di Bergen University untuk
pamit sebentar dari projeknya. Ketika sudah sampai Changi, profesornya
mengaminkan kepulangan sementaranya.
Gerimis di Changi masih terasa dari desau angin dinginnya. Tak lama
kemudian panggilan untuk penerbangan selanjutnya tiba. Kania melenggang
kemudian berlari kecil seakan pesawat akan meninggalkannya. Pramugari yang
menyambutnya mengenakan masker dan sarung tangan, berbaju panjang menutup kaki
jenjangnya. Dengan senyuman yang tergambar dari sorot matanya, para pramugari
menyambut kedatangan penumpang dan segera mengatur tempat duduk para penumpang.
“Sabar bentar lagi ya Langit” batin Kania.
Lampu seatbelt dinyalakan. Para awak kabin bersiap, usai mengecek
suhu badan dengan termometer digital, mempersilahkan para penumpang mengenakan
sabuk pengamannya. Sambil menutup mata, Kania merapalkan doa agar ia mendapati
keselamatan tanpa kecelakaan pesawat atau malah tertular covid-19. Ia sangat
takut, tapi tak mungkin tidak melalui perjalanan ini.
Enam puluh menit yang tenang, malah dibilang terlalu sunyi,
terlampaui sudah. Tak ada keinginan Kania memotret awan-awan meski ia duduk di
sisi jendela. Jika perpulangannya adalah perpulangan biasa, ia sering memotret
awan atau merekam 30 detik video untuk dijadikan postingan Instagram. Sejak ia
terbang 38 jam lalu, ia tak melakukan panjat sosial. Kania tak sekuat itu.
Jakarta, Bandara Internasional Soekarno Hatta menyambut Kania.
Masih dengan perwujudan yang sama, Kania segera mengantri mengambil kopernya. Kania hanya membawa satu
koper kecil dan tas punggung. Arrival gate terminal internasional Soetta juga
lengang. Masih ada beberapa, namun terlihat berjalan cepat cepat khawatir
terintai virus viral di tahun 2019 itu.
Kania sudah mengabari rumah untuk menjemput di terminal Bandung. Ia
masih harus melanjutkan perjalanannya dengan bis damri dari halte bandara.
Sesegera Kania memesan tiket damri untuk segera sampai rumahnya di Bandung.
“Teh, udah sampai mana?” sebuah pesan masuk dari umi Kania.
Ketika Hpnya aktif, beberapa pesan juga masuk. Kania mengabaikan
masih bisa dibaca nanti. Bis damri yang ia naiki sudah berjalan keluar dari
wilayah bandara. Hpnya berbunyi, pesan umi langsung dibalasnya tadi, tapi ini
sebuah nada panggilan masuk.
“Mbak pasien tertangani. Sekarang sedang menunggu hasil terbaik
mbak. Masih ada kabar baik mbak seperti yang sudah saya kabarkan 3 hari lalu.
Langit sangat hebat mbak. Langit sudah dipindahkan di bangsal anak” – sebuah
suara di ujung sana
Kania mendengar sedikit kabar baik itu sedikit lega. Ia jawab
dengan ucapan terima kasih dan mengkonfirmasi kedatangannya dan segera
menutupnya.
Perjalanan Cengkareng – Bandung masih beberapa jam lagi. Kania
mengendorkan diri lagi, untuk tidur sejenak. Benar saja sejurus kemudian Kania
tertidur, kepalanya menyandar ke jendela.
Perjalanan damri melewati tol yang berkelok kelok. Perjalanan yang
berkelok-kelok tak mengganggu Kania untuk tidur di kendaraan. Memang sudah
tabiat konyol Kania untuk bisa tertidur di mana saja ketika ia kelelahan. Jika
saja suasanya memang baik baik saja, memotret Kania tertidur adalah hal yang
menyenangkan. Ekspresi wajah Kania sesuai dengan apa yang ia alami di alam
bawah sadarnya. Jika saja kau sekarang duduk di sampingnya, melihatnya tertidur
di bus pastilah ingin segera memotretnya saja dan menyandarkan kepalanya di
pangkuanmu saja karena terlalu kasihan melihatnya tidur dengan kepala tertahan.
Sejurus kemudian, mimik muka Kania masih dalam tidurnya berubah
meredup. Sebuah kilasan kejadian 3 tahun lalu lewat menjadi bunga tidurnya. Di
dalam mimpinya, Kania sedang menahan nyeri haid seperti sakit bulanannya. Hari
itu pekerjaan di rumah peradabannya sedang banyak-banyaknya. Kania tetap
menyambangi rumah itu. Saat istirahat jam makan siang, pengunjung lain sedang
sholat Kania tertidur di meja kerja. Di balik tumpukan buku buku dan kertas,
Kania tidur bersilangsiku di meja. Awalnya Kania hanya tidur-tidur ayam untuk
menghalau nyeri punggungnya tapi ternyata kebiasaan tidur dimana saja terulang.
Kania tertidur lama. Kania baru bangun ketika sebuah bolpen menyentuh lengannya
dan Kania terkaget. Terbangun tiba tiba langsung disodori foto muka dirinya
tertidur pulas sepanjang jam istirahat makan siang di meja kubikelnya.
Kania yang khawatir jadi bahan bullyan, ia langsung memasang sikap
siaga merebut hp kawannya. Karena masih setengah sadar juga, Kania terhuyung
kakinya terkantuk meja kubikel, dan jatuhlah ia. Kepalanya terjedut, musuh
Kania sudah berlari, ia menahan dua nyeri di punggung dan jidatnya.
Nyeri di jidat Kania sangat terasa. Semakin nyeri, tak seperti di
mimpi. Ternyata jidat Kania benar benar terkantuk jok kursi bus di depannya. Kelokan
yang sedikit tajam membuat bus bermanuver. Kania yang tadi terlelap tidur
terbangun dengan jedutan kepalanya dengan kursi bus. Dengan sedikit muka
manyun, Kania membereskan posisi duduknya pasca tidur tadi menuju posisi tegak.
Kania melirik jam di hpnya. Sudah hampir satu jam dia ternyata tertidur. Kania menengok
ke jendela luar. Bandung sebentar lagi sampai. Gerimis masih menemani
perjalananya.
Sebelum benar benar sakit di jidatnya, Kania teringat mimpinya. Mengapa
di saat saat seperti ini kenangan bersama orang yang di mimpinya seperti hujan.
Mengalir dari langit ke bumi, menghujaninya, meski gerimis tetap akan membuat
basah. Kania ingat di hari itu. Kania meski was was menjadi korban bully, tetap
tersenyum kecil di sudut ruang. Pasang muka mengutuk, sejatinya di dalam hati
kembang kempis. Karena di hari itu Kania masih percaya, bahwa semua yang
terjadi padanya akan tetap baik-baik saja jika harus dibully kawannya itu.
Kania haus mengingat mimpinya. Diteguknya air minum yang sebelum
naik bus sudah ia beli. Meski memang kenangan kadang menyebalkan, namun
bagaimana pun kenangan memang dicipta untuk dikenang bukan? Kania membiarkan
saja dan merapalkan doa banyak di perjalanannya. Bukankah sabda Nabi,
merapalkan doa ketika perjalanan adalah salah satu doa yang mustajab. Kania dibalik
diamnya selama perjalanan, mendaraskan doa. Meminta keajaiban terbaik. Kania ingin
pulangnya menjadi alasan bertemunya Kania dengan kenangannya. Kania ingin
mengeja kembali apa yang sudah ditinggalkannya sekiranya dua tahun lalu. Kania ingin
memeluk hal hal sakit itu menjadi kebaikan.
“Terminal neng, teh, mpok, om, bapak, ibuu”.
Suara abang kondektur mengakhiri lamunan Kania.
Terminal Leuwipanjang juga lengang. Tak seribut biasanya. Kania bersyukur
selama perjalanan masih aman hingga ia berjumpa dengan manusia manusia yang
berdialek Sunda tulen. Kania sudah menjejak Bandung lagi. Sudah tidak ia dengar
nada sengau-sengau bule. Kania segera mengecek pesan instannya. Umi Kania
meminta Mang Ujang menjemputnya. Mang Ujang biasanya akan menunggu di dekat
wartel jadul di ujung Selatan terminal.
Kania berjalan sambil mencoba menelfon Kang Ujang.
“Mang, Kania sudah turun. Mamang dimana?”
“Bentar atuh neng. Mamang baru antri di kamar mandi. Neng Kania
tunggu di tempat biasanya ya. Punten”
“Ya mang. Kania udah disini. Jangan lama lama yang mang. Kania cape
sekali”
“Asyiap neng”
Kania menutup telefonnya. Dia mengetik pesan ke uminya kalau sudah
bertemu dengan mobil Mang Ujang. Kania juga mengecek pesan dari bapak-bapak
tiga hari lalu. Memastikan apakah masih di alamat yang sama untuk tujuan utama
kepulangan Kania hari ini.
Setelah beres urusan belakang Mang Ujang, mobil mulai meninggalkan
Terminal Leuwipanjang untuk menerobos perjalanan Bandung. Yang juga menyepi.
Kania kembali merebah lagi tanpa khawatir tertinggal. Kania sudah
merencanakan selama kepulanganya akan melakukan apa saja. Yang paling utama
adalah menyantap nasi liwet umi dan mandi.
Ya Kania terakhir mandi tiga hari lalu. Masih saja malas mandi
adalah kebiasaan ternyaman.
Komentar
Posting Komentar