Mari kita eja
Seluruh kata yang bermuara pada cinta.
Dimana cinta adalah kata kerja.
-Melindungi yang lemah, memberi yang papa
Mendorong yang lunglai, mengisi yang kurang
Mengangkat yang rendah, meneduhkan yang ranggas
Menggamit yang renggang, mendarmabaktikan diri.
Seperti timpa air yang jatuh di atas pualam batu, mengalir ia jauh
Tak menggenang, riaknya memberi manfaat, gelombangnya menyediakan hajat
Sesuai fitrah TuhanNya, air yang mengalir itu sedang mengabarkan ayat kauni
Bahwa ia sedang mencintai
= = =
Kania ga pernah tau, sejak kapan getar itu membaluti seluruh raga dan pikirnya. Ia hanya tahu sebenarnya ia telah memikirkan jauh sebelum intensitas dirinya bersama partnernya lebih sering seperti saat-saat itu. Kania yang sedang menemani Langit bermain, memandang jauh ke belakang. Ayah Langit adalah orang yang pernah masuk dalam daftar orang paling menyebalkan dalam hidupnya. Kania ingin, lari dari segala hal yang membuatnya bermuamalah lagi dengan ayah Langit. Semenyebalkan apa? Ayah Langit terlihat amat menyebalkan karena di depan Kania, hampir seluruh kata yang dia katakan adalah kebenaran.
Kania suka mencari pembenaran, that was she does. Kania tidak ingin terlihat kalah, namun sejatinya ia memang salah. Kania selalu ingin diiyakan, sedang kadang apa yang diiyakan malah membahayakan. Kania ingin selalu diperhatikan, padahal seharusnya tak selamanya seseorang menjadi objek, adakala ia harus subjek. Semua hal-hal menyebalkan di Kania itu, selalu ia cari pembenaran bukan kebenarannya. Maka kehadiran ayah Langit menjadi bencana di benak awal Kania, karena tak sesuai dengan egosentrisnya.
“Kamu hidup menyembah Tuhan, bukan ego yang terus kamu pertahankan”
Menangis Kania sejadi-jadinya. Ada orang yang menyentuh relung dirinya, bahwa memang selama ini Kania ingin menjadi yang paling dengan semua egonya. Ada yang mengerti cara bermainnya menghadapi banyak hal. Ada yang memotong ilusi yang Kania ciptakan sendiri, dirasakan sendiri, dan merasa terkhianati sendiri. Circle pengelolaan hati dan jiwanya terbaca dengan seksama oleh ayah Langit.
Seusai itu, Kania bergetar.
Kania ingin menjadi orang yang membaktikan dirinya, selain kepada kedua orang tuanya. Ada yang Kania percaya setelah ayah ibunya, yang akan membawanya ke surga. Kania mengangkat tangan kalah.
Sejak omelan panjang hampir setiap hari disampaikan, peringatan yang diberikan, pilihan yang tak mudah ditawarkan, Kania seakan semakin yakin bahwa ia akan menjadi aman di sisinya.
Ayah Langit mengerti bagaimana menempatkan Kania, yang harus ditarik ulur dalam mendidiknya. Kania mengerang sakit, di awal bahkan suka melempar barang, namun seperti obat yang menyembuhkan Kania merasa lebih baik dari segala rasa sakitnya di awal.
Kania merasa aman, nyaman, tenang.
= = =
Hingga akhirnya, Kania memiliki batas kesadaran. Akan sejauh apa ia akan terus dibersamai dengan perlakuan yang sama? Maka tak terelak, pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul dari dirinya pada ayah Langit kemudian. Kania selalu takut dengan diksi pulang. Sedang ia telah merasa nyaman, jika pulang itu dialamatkan pada petak rumah yang dibalik pintunya adalah ia. Kania bertanya pada dirinya sendiri, pada diamnya, pada sibuknya, dalam riuh atau sempit, bahkan dengan sesenggukan di hadapan ayah Langit sendiri. Kania seakan mengerang jika suatu hari nanti ayah Langit akan pergi.
Jawaban ayah Langit, melangit.
Kania bukan tak percaya, namun Kania sedang tak ingin terluka. Biar saja, ia dan rasanya mengalir jauh dengan sendirinya, seperti sajaknya. Tugasnya hanya melakukan seluruh kata yang bermuara pada cinta sebagai kata “kerja”.
= = =
Sore yang ditemani hujan, Kania masih menggamit Langit, diajaknya bermain. Dalam mimpinya yang sering hadir adalah perginya ayah Langit, dari sisinya. Maka setidaknya Kania selalu bisa memiliki Langit kapan saja. Dengan Langit ada, Kania masih percaya ia masih membersamai ayahnya, meski besok sudah taka da lagi muamalah di antaranya.
Komentar
Posting Komentar