Sedari
tadi, Kania hanya memainkan gawainya menunggu ibun selesai belanja. Kania malas
mondar-mandir mengikuti ibun untuk memilih belanjaan. Kania melihat beranda
sebuah exchange program di negara idamannya. Kania membayangkan ia
menyelesaikan semacam short course di benua Biru, mengenakan selempang khas berwarna
biru langit yang menutupi sepertiga badannya, menyunggingkan senyum ke kamera,
menyapa ayah ibun yang di rumah. Kania membayangkan telah menyelesaikan short
course tentang Sustainable Entrepreneurship program dari Orange Institute di
Belanda.
Kania
membayangkan dirinya akan sebesar itu suatu waktu. Menembus kemana saja yang
Kania mau, menjelajahi kelas-kelas yang Kania inginkan, belajar dan terus
belajar menggenapkan fantasinya seperti di novel-novel yang Kania baca semasa
SMA. Syndromnya setiap waktu adalah Kania menjadi putri untuk dunianya sendiri.
Kadang itu hal yang membuatnya menangis, tersengal-sengal namun dari harapannya
itulah, Kania menyingsingkan segenap usahanya untuk menjadi putri di semestanya.
Dan Kania menetapkan jalan-jalannya mencari ilmu adalah jawaban ia bisa menjadi
putri atas semestanya sendiri.
Namun,
seperti Kania terbangun dari fantasinya, usia Kania sudah dua puluhan. Menjadi
putri di semestanya sendiri membuatnya jatuh bangun tak karuan. Terlebih
selepas Kania berjumpa dengan partnernya, Kania mengubah 180 derajat arahnya.
Kania
sempat menetapkan diri untuk membagi dirinya, dengan mimpi orang yang tak
pernah terlintas di sisi Kania. Kania hanya sibuk dengan fantasinya untuk
menjadi putri di semestanya sendiri. Sedang selepas menyatakan iya untuk
mengerjakan apa yang sekarang Kania sudah cintai, butuh kesadaran penuh untuk
bangun, berjalan bahkan berlari.
Apa
Kania menyesalinya? Entah. Namun Kania semakin hari semakin merasa beban, bukan
karena beratnya pekerjaan-pekerjaan yang harus ia selesaikan. Kania lebih lelah
dengan bagaimana mengistirahatkan hatinya, ketika menjumpai kenyataan – sesuatu
yang di sekitarnya bukan jaminan, bisa ia miliki dan ia kendalikan sendiri, bisa
ia miliki sepenuhnya, sesuai maunya. Lagi lagi Kania lelah mengistirahatkan
egonya sendiri.
Ada
satu hal yang sekarang, jika dikatakan ego terbesar dalam hidupnya adalah
dengan mengambil sekolah yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Kania percaya,
seperti dalam novel novel yang ia baca, sekolah membuka pintu satu ke lainnya.
Dengan sekolah yang semakin tinggi, semakin tinggi pula derajatnya baik di mata
manusia maupun Tuhannya.
---
Selepas
tandas stalking exchange program yang pernah ia minati untuk ikut, muncul
pengumuman pendaftaran pascasarjana untuk jurusan sesuai dengannya. Namun,
bukan sesuai ekspektasinya lagi.
Kania
bimbang, kesabaran atas effort-nya diuji. Kania pernah bermimpi, jauh sekali. Menerobos
batas kemampuannya ia akan duduk di salah satu kelas di Benua Biru. Kania sangat
memercayai mimpinya itu. Sebenarnya itu hanya fatamorganan atau memang karena
usahanya, beberapa mimpi Kania memang tercapai. Tapi khusus untuk mimpinya
duduk di Benua Biru itu seakan jauh, semakin menjauh.
Kania
mengerti ada banyak yang harus diselesaikan. Kania menurunkan keputusannya
untuk memilih melanjutkan studi di negara tetangga saja. Seluk beluk, hingga
circle pertemanannya sudah ia bentuk sejak awal. Ia tak ingin gagal. Banyak yang
menanyakan, Kania menjawabnya dengan mantap, Malaya University, tujuan
selanjutnya. Hingga tiba waktunya, hujan yang gerimis tergantikan oleh badai. Badai
atas kesibukan Kania dengan dunia baru yang menyita seluruh indranya. Sempat akan
tetap berangkat, namun Kania sudah tak sebebas egonya dulu. Ada perlu yang
harus diwujudkan sebelumnya, ada iya yang sudah Kania jabat, ada distraksi yang
mendarat. Di tahun selanjutnya, Kania menetapkan, mungkin memang harus
terhentikan. Masih ada opsi selanjutnya.
Kania
melanjutkan opsinya. Jika bentang benua dan negara sudah tersisih, Kania
menjatuhkan pilihannya untuk meneruskan mimpinya di tanah Parahyangan. Kania tidak
ingin terlewat lagi. Kania mengkalibrasikan usahanya agar tak meleset begitu
saja. Bismillah yok bisa. Kania sudah menvisualisasikannya dalam doa, dalam
itinerary hariannya, namun ternyata pilihannya yang ini dipertanyakan oleh
Bunda. So sad. Dihantui kenakalan Kania masa lalu membuat ibun menarik izin
doanya. Udah ya mbak, di Solo aja.
Diam
seribu bahasa. Merajuk lagi. Tapi Kania bisa apa ?
Kania
untuk banyak hal, keputusannya sangat mengikuti pinta orang tuanya. Kata Kania,
yasudahlah~
Okai.
Sekarang Solo masih menjadi jawaban. Hanya ada dua pilihan, negeri atau swasta.
Ketika sama-sama dicek untuk kebutuhannya, keduanya tak jauh beda. Kini cabang
gelisahannya adalah self funding atau fully funded negara. Seperti program
sebelumnya, Kania memang telah merasakan suka duka sekolah dengan fully funding
negara. Ya jelas, kita harus lebih banyak mensukseskan seluruh program dari
lembaga yang menyediakan funding beasiswa.
Perbagai
pertimbangan, di akhir tahun diputuskan untuk self funding. Ibun menyutujui,
dengan catatan benar benar self funding karena keadaan rumah yang masih harus
mendanai untuk adik-adiknya. Ya, Kania memang tau itu. Dia tak mengambil
pusing, meski kadang timbul tanya, lagi-lagi biar apa jika ia terus
menanyakannya. Ia bersyukur tak lagi merepotkan orang tuanya.
Seakan
selangkah lagi, tapi Kania merasa sangat lama. Lama sekali hingga ia seakan
kebas. Kebas dengan pertanyaan kapan, sedang ia benar benar masih harus
berjuang mengumpulkan biaya yang harus ia keluarkan. Dari hasil ‘kerja’-nya
bersama partnernya yang seperti roller coaster. Banyak naik, sering turunnya,
ia menguatkan diri sendiri. Semua pasti ada jalan, semua pasti datang, semua
pasti cukup. Kania menyemangati hatinya, memeluk dirinya sendirinya,
mengafirmasi pikirannya, memang sudah banyak yang meninggalkannya. But live
must go on, isnt right?
Banyak
tempat ia lewatkan kesempatannya, namun setidaknya ia masih memegang teguh
mimpinya dalam hal yang sama. Mungkin memang ini jalan ujiannya, untuk
mendapatkan hal yang lebih insightfull dan besar. Kania harus menanti dengan
sabar, menjalani dengan tabah, melakukan yang terbaik agar apa yang dicitakan
terwujud nyata.
Di tengah
penantiannya, ada kabar yang sebenarnya seperti doanya. Kampus Kania dulu
membuka program magister untuk jurusan yang sama dengan mobilitas, biaya,
lingkungan yang sangat affordable dengan kesibukannya.
Yang
menjadi kontra adalah,
Apakah
Kania akan begitu saja memilih yang menjadi zona nyamannya?
Apakah
Kania melepaskan begitu saja yang menjadi idealismenya?
Kania
sudah terlalu banyak mengalah dengan keadaan yang ia alami, apakah ia nanti kan
kalah lagi?
Kania
bukan putri, Kania harus bersusah payah
lagi.
Entah
semoga kan terjawab lepas ramadhan nanti.
..
30
hari menuju ramadhannya Kania
Komentar
Posting Komentar