FATHI KEDUA : Sebuah jawaban kemenangan
Saat jumpa tak lagi ada cengkrama.
Hanya sebuah kerelaan hati untuk memenangkan
Memenangkan perasaan diri sendiri untuk dipahami
23:36
“Nat, uda ya rewelnya. Sekarang aku mau pulang.” – cukup singkat tanpa emoji. Kepulangan Fathi bukan sekedar ia pulang ke rumah dan besok kita akan cepat bertemu lagi di sekolah. Kepulangan itu yang berjarak jauh, ribuan kilo. Bahkan tapal batas ZEE pun jauh. Fathi pulang ke London. Tempat ia harus menyelesaikan master ekonominya.
Cukup tetesan mata dan sorot mata redup menjadi jawabanku. Aku tak berani mengiyakan. Namun aku juga tak berdaya menahan. Lelaki yang sudah menjadi separuh nafasku harus melanjutkan perjalanan. Permintaan Fathi sore kemarin menjadi sebuah samsak yang nyata. Bahwa tak pernah ada kata selamanya untuk kehidupan manusia. Ia akan bermobilisasi sesuai zona waktunya. Kapan ia menetap, kapan ia hanya singgah, kapan ia harus pergi lagi. Bahkan kepergian dalam kamus manusia adalah sebuah keniscayaan. Karna tak ada pertemuan tanpa perpisahan.
Baiklah. Pulanglah Fat. Aku akan menantimu, hingga tapal batas waktu. Penantian yang mungkin akan teramat lama. Penantian yang mungkin akan meniadakan sejatinya apa itu jarak. Penantian yang membuat jemari terasa gemas melihat notifikasi pesan. Fathi, pergilah dengan pelukan yang ku ridhoi. Setelah memutuskan itu, gamitan tangan bersambut. Untuk yang terakhir. Setelah zona waktu menghantarkannya dalam pelukanku lagi beberapa waktu lalu.
Sekarang, menunggu jadwal penerbangan ku temani ia menata apa yang harus ia bawa. Tak kusesali kepergiannya. Karna jika memang ia adalah sebuah cinta, maka tak pelak seberapa air mata yang turun adalah tetap air mata cinta. Kita lalu bercerita tentang masa kecil kita lagi. Sebelum episode kepergianku yang pertama. Ya sebelum kita bertemu, aku dulu yang meninggalkan Fathi. Menghabiskan waktu SMP dan setengah jalan SMA di Lembang bersama ayah bunda. Fathi tetap sekolah di Solo, hingga S1nya purna.
‘’Bagi calon penumpang menuju London harap segera memasuki pesawat melalui gerbang 3B”. Seru petugas bandara mengingatkan kita berdua. Fathi memegang tanganku, menguatkan. “Nata nggak papa Fat.” Aku memastikan diri. Aku tak mau menjadi lemah, bukankah sekarang jarak bisa terlipat. Fathi menyiapkan boarding pass-nya untuk di cek oleh petugas bandara. Lalu ia berjalan di antara kerumanan penumpang yang sama ingin segera masuk. Lalu bagai di makan mesin waktu, ia mengecil semakin mengecil lalu pudar. Bersama hujan saat itu juga, Fathi luruh dalam desing waktu. Tanah kering luruh oleh sapuan hujan. Aku pulang.
---
“Nat, pulang bareng nggak?” tanya Vio. Aku sedang malas-malasnya untuk segera pulang. Juga malas terlalu lama di kampus. Tidak ada jadwal menari. Ya Nata menari. Nata berlalu lalang sebentar sebelum menjawab pertanyaan Vio, lalu tersenyum “Vi, ke Kopi Kenang aja yuk?”. Vio tanpa butuh waktu lama mengiyakan teman seperjuangannya itu tapi yang lebih manja dari siapapun. Vio teman sekelas jurusan dan menari Nata. Mereka bagai upin dan ipin.
Motor Vio melaju tenang menuju Kopi Kenang. Kopi kenang berada di bilangan Manahan, Solo. Vio tau, ketika twin-nya ingin kesana pasti antara saat Nata paling bahagia atau paling sedih. Untuk perasaan Nata yang biasa- ga sedih banget ga bahagia banget, jarang Nata mengajak Vio ke Kopi Kenang. Dahulu saat belum sedekat itu, Nata masih sendiri untuk mengunjungi Kopi Kenang. Nata percaya bahwa hanya benar-benar orang yang pantas dikenanglah Nata akan mengajak orang itu ke kedai kopi itu. Pertama kali Vio diajak adalah ketika Vio dan Nata selesai manggung di pembukaan perhelatan peresmian Hari Anak Nasional di Kota Solo. Setelah berusaha berbulan-bulan, sebenarnya bukan melatih menarinya yang susah, namun alasan untuk menarinya lah yang harus Nata menangkan. Vio paham, setelah tumpah semua cerita Nata di hari pertama ia diajak ke Kopi Kenang.
Sudah tiba di parkiran, suasana klasik dan bau kopi khas Kopi Kenang langsung menyergap. Masih pukul 14.00, jadi tak begitu ramai. Orang-orang sudah mulai beranjak bekerja lagi, dan jam pulang kerja masih lama. Kita langsung menduduki singgahsana Nata biasanya. Di bawah tangga paling dekat dengan rak buku berisi macam-macam novel indie hingga international. Waiter datang menemui kami, dan kami langsung memesan menu biasanya. Waiter langsung undur diri dan sembari menggoda Nata sebentar, bilang Nata makin kurus apa stock kangen semakin menumpuk. Nata tertawa saja. Vio sudah siaga, takut tiba-tiba Nata badmood mendadak tanpa pengumuman. Vio akan makin repot jika Nata sudah merajuk, tantrum kaya bayi.
“Vi, uda tau kapan jadwal libur semesteran?” tanyaku ke Vio. “Hmm, 3 weeks soon, isnt it?” Vio mengerutkan kening. Aku tertawa, melihat Vio sok bodoh dengan ketidaktahuan jadwal liburan. “Terus ada apa oneng? Kalau libur, paling kita juga bakal ke Lembang nyusul mami dadimu apa ke Malang ke rumah ibu bapak.” Vio menyesap choco coffe latte. Nata tertawa, menggeleng kepala.
Tiket Jakarta London menjadi jawaban Nata sore itu, pas pada denting jam ketiga. Vio gelagapan tak percaya. Nata dengan segala kecerobahannya akan pergi ke London sendirian? Vio tapi lupa, Nata pernah pulang pergi Sumatra sendiri. Nata pernah naik kereta karna kegalauan gajelasnya solo jogja entah beberapa kali. Nata pernah membawa anak orang, naik bis ke Mojokerto sendiri. Nata pernah naik ke Dieng naik motor sendiri. Nata pernah, tapi Vio mungkin lupa karna lebih banyak ketantruman Nata dibanding kedewasaannya.
Baiklah, sore hujan kala itu adalah sebuah kebahagiaan. Vio paham, Nata tanpa perlu menjelaskan. Tapi ternyata menjadi sebuah awal kelindan rasa, tentang memenangkan hati. Tentang sebuah kemenangan. Sebuah Ke-Fathi-an.
bersambung...
Komentar
Posting Komentar