Aku seorang
mahasiswi tingkat akhir. Setiap pekan sudah sering menerima undangan walimahan.
Walimahan teman SMA, teman kuliah, teman organisasi maupun hanya relasi. Dari beberapa
undangan itu, aku menyadari bahwa usiaku tak SMP lagi, yang hanya tau jajan dan
pergi ke warnet lagi untuk happy-happy.
Kata
beberapa orang, usia sepertiku sudah pantas menikah. Sudah cukup umur untuk
membangun rumah tangga. Sudah saatnya aku dalam pagutan seorang pria. Ya, usia
20 tahun dalam Undang Undang Perkawinan negara memang sudah sah dan bisa
diresmikan di depan pengadilan. Yaa aku hanya, iya dan iya saja. Karena banyak
hal aku belum ingin menikah. Salah satu hal pastinya adalah belum ada yang
datang melamar lah.
Lalu
apa telak aku resah ? ternyata bukan dengan siapa aku akan terpinang. Berubah strata
sosial menjadi nyonya bapak X. Pergi kondangan sudah berdua, beranjangsana tiap
liburan dan segala romansa baper ala nikahan selebgram. Duhai calon ku yang
entah siapa kamu, aku resah karena aku akan menjadi Ibu dari anak-anakmu.
Aku mengenal
dua anak yang mereka lahir dari orang tua yang keren. Orang tuanya menjadi
beberapa patronku beraksara. Dari orang tua anak-anak itu aku belajar mencintai
dunia baca dan kembali menuliskannya hingga kemudian aku memiliki cita-cita
bahwa aku harus memiliki keluarga aksara.
Keluarga
aksara, bukan keluarga dimana aku menikah dengan penulis buku, atau pemilik
percetakan atau agen toko buku terkenal. Keluarga aksara bagiku keluarga dimana
aku dan suamiku meninggalkan genial rasa ingin tahu mendalam untuk segala hal
dan kemudian memberikan kesempatan untuk memenuhinya dengan cara membaca.
Ayahku
tidak suka membaca. Ayah hebatku lebih suka mendengar hasil bacaan ibu cintaku.
Terdengar so sweet sih ya. Ibu membaca, ayah mendengar. Namun sungguh itu
menyebalkan. Ayah lalu manja. Tidak suka membaca membuat ayah tertinggal. Pengetahuan
secara kogntif dan psikomotorik lebih cepat dikuasai oleh ibu cintaku, aku, dan
adik-adikku. Hasilnya ketika bercerita, ayah hebatku sekedar pendengar tidak
seluwes ibu cintaku menanggapi dan merespon semua cerita harian yang aku dan
adik-adikku ceritakan. Tidak hanya itu, ayah hebatku menjadi bukan orang
pertama yang menjadi rujukan ketidaktahuan oleh diriku dan adik-adikku. Hasilnya
sebagai lelaki yang menjadi qawwam atas wanita menjadi berkurang sederajat
hanya karena ayah hebat kurang suka membaca.
Kembali
ke dua anak yang menurut versiku beruntung. Mereka adalah si Rumi kecil dan
Bisma Kalijaga yang lucu. Si Rumi kecil adalah anak pertama Mas Hamdi dan Mbak
Anis Maryuni. Dua senior di KAMMI. Mas Hamdi dan Mbak Anis, keduanya penikmat
penggila dan penyabu buku. Saat Rumi baru bisa duduk bersandar, belum bisa
duduk tegak sendiri sandarannya adalah buku-buku lawas hardcover. Saat digendong,
pegangannya buku. Mas Hamdi lebih sering membaca sastra. Mbak Anis lebih ke
hukum dan politik. Melihat dari sejak kecil Rumi tak hanya diasupi asi namun
juga buku-buku yang bergizi, maka sungguh yakinku kelak Rumi akan menjadi
seorang Rumi era kekinian. Namanya saja sama dengan tokoh pujangga. Dari situlah
bisa dilihat orang tua Rumi berharap ingin Rumi tumbuh menjadi pribadi yang
mengerti kesustraan. Kasustraan dalam beberapa studi literatur juga
menghadapkan kehalusan budi pekerti, tingginya pengetahuan dan keluasan hati. Bahkan
Umar bin Khattab pernah berkata bahwa “Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena
itu dapat menggubah anak yang pengecut jadi pemberani.
Adik
kecil Bisma Kalijaga pun tidak kalah beruntung. Dilahirkan di keluarga ayah
yang gemar menulis dan ibu yang juga mengimbangi ayahnya. Ayahnya Kali adalah
Puthut EA. Seorang esais, sastrawan dan peneliti dari Indonesia. Puthut EA
mudahnya dikenal sebagai kepala suku di portal mojok.co, sebuah portal daring
yang memiliki markas di Jogja. Kali, panggilannya, menurutku menjadi anak
beruntung selanjutnya karena sudah memiliki gen unggul dalam hal beraksara. Bukankah
buah tak jatuh jauh dari pohonnya.
Kali, memiliki kesempatan lebih banyak dibanding anak-anak lain untuk mendaulat
dan mengimitasi kebiasaan, tingkah laku, adab serta kesibukan orang tuanya
dalam hal aksara by taken for granted.
Jika
saja, semua anak Indonesia seberuntung Rumi dan Kali maka menggerakkan gerakan
Indonesia sadar membaca adalah hal kecil. Membebaskan Indonesia dari buta
aksara bukan hal mustahil. Semua diawali dari keluarga, sebagai satuan
pendidikan terkecil dalam ilmu kependidikan. Ternyata sebelum itu lagi, menurut
Hassan al Banna, beliau berkata bahwa ibda bi nafsik – mulailah dari dirimu
sendiri. Maka ku masih berusaha keras memulai dari diri sendiri, membaca dan
menulis meski hanya separagraf meski hanya sebaris.
Bukankah
perintah membaca adalah peintah pertama dari Allah untuk kita pengikut Muhammad
SAW ?
Maka
aku sungguh resah jika suatu hari nanti bahkan menuntaskan buku romance pun tak
mampu lelakiku siapa kamu nantinya, bisakah kau bantu aku mencapai cita-cita
kecilku untuk membangun keluarga beraksara ?
Mantullllll
BalasHapus