Kehidupan pasca kampus menawarkan banyak alternatif. Bagi mahasiswa yang aktifis maupun bukan. Apalagi mahasiswa aktifis, akan semakin banyak tawaran kemana akan melangkahkan diri. Secara garis besar, kehidupan pasca kampus menawarkan tiga jalan. Lulus S1 melanjutkan studi S2, meniti karir atau menikah.
Ketiganya seakan menjadi trilogi kehidupan pasca kampus.
Sekarang ini lulusan S1 tidak lagi menjadi pungkasan. Di dunia karir, sarjana menjadi biasa saja karena semakin banyak wisudawan yang lulus dari sarjana. Sehingga untuk menjadi wisudawan yang tidak biasa, harus ada values lebih yang ada di personalnya.
Mengkristalkan values tersebut bukan hal satu dua hari. Values tersebut dibangun sejak pertama menjejakkan diri di dunia perkampusan. Bagi par aktifis values tersebut didapatkan dari kegiatan kegiatan yang ia ikuti. Sehingga ia tidak hanya lulus menjadi wisudawan yang biasa namun memiliki nilai yang tak sembarangan orang memiliki jua.
Setelah values, apakah cukup? Belum. Lulusan S1 belum dicap sebagai para pakar. Karna sesuai metodologi dan penggunaan literatirnya, S1 masih hanya menguji teori yang sudah ada. Kemampuan mengamati apakah benar sebuah teori itu apakah masih relevan studi kasus itu.
Disitulah ada satu step dalam trilogi yakni melanjutkan ke jenjang magister. Para magister dijalurkan untuk para pakar, para ahli di bidangnya, mampu membuat sebuah kebijakan yang lebih kredibel dan mumpuni. Sekarang syarat menjadi pemimpin sebuah lembaga lebih diberatkan kepada para magister. Sehingga para magister sekarang lebih luwes untuk menduduki poros poros yang strategis.
Tantangan jaman sudah berubah. Sekarang sarjana untuk bicara hal prestise pun sudah bukan barang 'wah'. Untuk kedalaman ilmu dan karakter, para magister lebih mendalam dibandingkan para sarjana. Para magister memiliki lebih banyak kemampuan untuk analisis dan problem solver yang lebih baik.
Kamu seorang perempuan? Untuk apa ribet S2?
Belajar dari pengalaman Mbak Dewi, penulis buku "Awe Inspiring Me" yang bahkan sudah purna S3, seorang istri yang suaminya juga S3 dan seorang ibu dari satu anak perempuan. Melanjutkan studi memberikan investasi kehidupan yang lebih banyak dan luas untuk keluarga kita nantinya.
Pembelajaran yang berdasarkan experiental learning lebih menggugah kesadaran dibandingkan hanya teori teori apa lagi disampaikan oleh bukan pakarnya.
Kesempatan melanjutkan studi magister juga lebih mudah. Ada banyak beasiswa dan kelonggaran dinamika studi dibanding sarjana. Para magister diberi keluwesan untuk fokus mempelajari bidang studinya tanpa tambahan makul wajib seperti di sarjana.
Berkiblat pada "belajar sejak buaian hingga liang lahat" maka impian melanjutkan studi magister menjadi kenaifan yang kupelihara. Bagaimana pun caranya asal ada usaha maka akan tercapai juga.
Maka sianida?
Siap nikmati S2 bersama dia adalah keinginan yang disemogakan. :)
Ketiganya seakan menjadi trilogi kehidupan pasca kampus.
Sekarang ini lulusan S1 tidak lagi menjadi pungkasan. Di dunia karir, sarjana menjadi biasa saja karena semakin banyak wisudawan yang lulus dari sarjana. Sehingga untuk menjadi wisudawan yang tidak biasa, harus ada values lebih yang ada di personalnya.
Mengkristalkan values tersebut bukan hal satu dua hari. Values tersebut dibangun sejak pertama menjejakkan diri di dunia perkampusan. Bagi par aktifis values tersebut didapatkan dari kegiatan kegiatan yang ia ikuti. Sehingga ia tidak hanya lulus menjadi wisudawan yang biasa namun memiliki nilai yang tak sembarangan orang memiliki jua.
Setelah values, apakah cukup? Belum. Lulusan S1 belum dicap sebagai para pakar. Karna sesuai metodologi dan penggunaan literatirnya, S1 masih hanya menguji teori yang sudah ada. Kemampuan mengamati apakah benar sebuah teori itu apakah masih relevan studi kasus itu.
Disitulah ada satu step dalam trilogi yakni melanjutkan ke jenjang magister. Para magister dijalurkan untuk para pakar, para ahli di bidangnya, mampu membuat sebuah kebijakan yang lebih kredibel dan mumpuni. Sekarang syarat menjadi pemimpin sebuah lembaga lebih diberatkan kepada para magister. Sehingga para magister sekarang lebih luwes untuk menduduki poros poros yang strategis.
Tantangan jaman sudah berubah. Sekarang sarjana untuk bicara hal prestise pun sudah bukan barang 'wah'. Untuk kedalaman ilmu dan karakter, para magister lebih mendalam dibandingkan para sarjana. Para magister memiliki lebih banyak kemampuan untuk analisis dan problem solver yang lebih baik.
Kamu seorang perempuan? Untuk apa ribet S2?
Belajar dari pengalaman Mbak Dewi, penulis buku "Awe Inspiring Me" yang bahkan sudah purna S3, seorang istri yang suaminya juga S3 dan seorang ibu dari satu anak perempuan. Melanjutkan studi memberikan investasi kehidupan yang lebih banyak dan luas untuk keluarga kita nantinya.
Pembelajaran yang berdasarkan experiental learning lebih menggugah kesadaran dibandingkan hanya teori teori apa lagi disampaikan oleh bukan pakarnya.
Kesempatan melanjutkan studi magister juga lebih mudah. Ada banyak beasiswa dan kelonggaran dinamika studi dibanding sarjana. Para magister diberi keluwesan untuk fokus mempelajari bidang studinya tanpa tambahan makul wajib seperti di sarjana.
Berkiblat pada "belajar sejak buaian hingga liang lahat" maka impian melanjutkan studi magister menjadi kenaifan yang kupelihara. Bagaimana pun caranya asal ada usaha maka akan tercapai juga.
Maka sianida?
Siap nikmati S2 bersama dia adalah keinginan yang disemogakan. :)

Komentar
Posting Komentar