Sebuah kata
bunda adalah kuncinya
--
Hari hari
setelah usai dari bangku kuliah berjalan majemuk. Kala pagi bangun,
mempersiapkan diri, pergi bekerja, pulang kerja capek, rebahan sambil
scrolling, jam sudah pukul sembilan tandanya masuk kamar. Rutinitas memang
terkadang membunuh. Kebosanan melanda lebih cepat. Tak terasa, keadaan seperti
itu makin lama membuat kardia terluka lagi. Dengan bertele-tele efek sakitnya,
kata dokter hanya karena tidak stabil dalam mengurang tekanan dan masalah.
Lulusan
cumlaude, dari PTAIN cukup terkenal, lumayan banyak relasi serta sempat aktif
di lembaga kepemimpinan di kampus, adalah profil lulusanku. Pada awal aku
memang memutuskan untuk tidak mengejar jadwal pekerjaan yang sudah ditawarkan. Beberapa
sekolah sebenarnya sudah membidikku untuk menjadi tenaga pendidik. Aku menolak,
dengan alasan aku masih sibuk menyelesaikan beberapa amanah sosial. Penawaran kedua,
masih dengan jabatan yang sama, aku menolak lagi. Alasan kedua adalah untuk
menseriusi apa yang sudah kulahirkan di dunia ini.
Akhirnya
hari demi hari, meski terkadang getir melihat seragam-seragam yang dipakai
kawan-kawanku, aku masih memilih jalan terjal itu. Jika ditanya mengapa, entah
sebagian hati masih enggan beranjak. Hingga suatu hari kebosanan itu terus
menerus meneror, pertahananku patah.
Aku
sore itu menangis, menggigil, tergugu. Aku membayangkan bagaimana hari hari ke
depan. Bayanganku semakin sempit, jika aku tidak menjadi apa apa. Aku anak
pertama, aku perempuan, aku dan keakuan lainnya yang membuatku terhanyut dalam
asumsi.
Esoknya
adalah hari ulang tahun mama. Aku yang masih terengah-engah dengan kebosananku,
ku sampaikan kebimbanganku. Kepada partner terbaik, ku ceritakan semuanya
dengan jelas air mata berlinang. Ku sampaikan, aku ingin ada yang
kupersembahkan untuk orang yang paling berjuang untuk keberadaanku di dunia
ini. Hari itu pula ku kabarkan, aku bosan dengan semua yang sedang kulakukan. Kesibukan
itu, membuatku menakutkan sesuatu di masa depan, jika aku tidak menjadi apa
apa.
Pembahasan
yang selalu menjadi diskusi di bilik percakapanku bersama partnerku, bagaimana
kita akan menjalani masa masa dewasa. Jika suatu hari saat kita masih remaja,
kita membayangkan menjadi orang dewasa. Lulus kuliah, kerja di tempat bonafide,
bergaji dua digit, memboyong perlengkapan pribadi yang branded, pergi fakansi
kemana kemari, ketemu jodoh menikah, berkeluarga, membina rumah tangga dengan
rumah dan kendaraan pribadi dan seterusnya. Ketika remaja jika saat itu uang
jajan hanya pas-pasan pemberian orang tua, saat tumbuh dewasa kita bisa sedikit
boros membelanjakan harta karena sudah berpenghasilan. Nyatanya tidak.
Dengan
angan-angan tersebut, aku terjebak pada asumsi. Pada hari hari itu yang kurasa
menjadi bodoh. Apakah indikator dewasa adalah ketika berharta dan mampu
memiliki segalanya ? dengan model pakaian sesuai trendnya atau memiliki
kendaraan pribadi keluaran terkini? Tobat aku, hempas. Indikator dewasa juga
bukan obrolan di kafe ternama tiap akhir pekan tiba. Bukan itu semua.
Besoknya
lagi, kado sudah terbungkus rapi. Ku haturkan pada mama, kusampaikan terima
kasih dan ucapan maaf. Ku duduk di sebelahnya, lalu merebah di pangkuannya.
“Bun, emang mama
gimana jika mbak besok tidak menjadi apa apa? Menjadi dewasa yang hanya
kumpulan usia ?”
Dengan
belaian dan senyumnya
“Tidak ada yang
bisa membawa kedamaian untuk orang tuanya yang mengalahkan doa anak sholih
untuk kedua orang tuanya. Bukan harta, jabatan, bukan besok rumahmu seberapa
besar. Bukan besok kamu mau menikah dengan laki-laki berjabatan apa. Orang tua
yang bijak akan mengutamakan sesuatu yang lebih kekal. Harta benda bukan sebuah
kekekalan. Yang utama adalah sebuah kebaikan yang diajarkan orang tua
dilanjutkan oleh anak-anaknya menjadi amal jariyah. Bila memang ada, semoga
menjadi wakaf dirinya.”
“Sekarang tidak
perlu minder dengan apa yang dikerjakan. Lakukan yang kamu miliki sekarang
sebaik-baiknya. Jangan jadi biasa. Suatu hari pasti ada buah manis dari pohon
yang menjulang, akan tumbuh keturunan pelaut handal dari ibu yang lolos dari
badai kehidupan”
Demikian
sudah, apa yang disampaikan bunda adalah kunci. Kini ku ganti asumsi buruk itu
dengan percaya diri. Apa yang dikejar pasti akan sampai. Apa yang diusahakan
akan menghasilkan dan apa yang dirawat akan mekar. Cukup hari hari lalu dengan
asumsi bodoh, hari ini dan seterusnya tetaplah bersinar.
Komentar
Posting Komentar